Sabtu, 28 Juni 2014

KARAKTERISTIK INDONESIA SEBAGAI MASYARAKAT MULTIKULTURAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia memiliki banyak budaya yang dapat memperkaya khasanah budaya nasional kita. Kita perlu memperoleh gambaran umum tentang kondisi ke-Indonesia-an yang beragam dan gambaran yang lebih spesifik tentang berbagai kelompok etnis dan budaya yang ada di tanah air ini. Dalam Subunit 3.2 ini kita akan mengkaji karakteristik Indonesia yang beragam itu dan selanjutnya mengkaji beberapa etnis sebagai identitas sosial budaya. Karena keterbatasan tempat, waktu dan kemampuan penulis, maka hanya disajikan mengenai Cina, Jawa dan Bali.Mengapa dipilih Cina ? Karena sekalipun jumlah mereka sedikit, tetapi secara ekonomi sangat mendominasi negeri. Mengapa Jawa ? Karena sebagian besar jumlah penduduk Indonesia berasal dari daerah ini. Karena jumlah penduduknya banyak maka tentunya budayanya juga mempunyai banyak pengikut. Mengapa Bali ? Karena Bali sangat dikenal sebagai tempat pariwisata budaya dunia. Bahkan lebih dikenal daripada Indonesia sendiri.   


 Masyarakat multikultur terbentuk dari subgroup yang berbeda dari yang satu dengan yang lainnya dalam berbagai latar belakang: kelas sosial, etnis, ras, budaya, gender. Orang dalam masyarakat multikultural bukan hanya menjadi anggota dari satu budaya saja. Seseorang merupakan anggota dari berbagai subgroup yang membentuk masayarakat, yang masing-masing diprogram oleh budayanya sendiri. Sekalipun ini terlalu menyederhanakan. Budaya subgroup juga tumpang tindih dan saling menerobos satu dengan yang lain, sehingga orang tidak menjadi anggota secara eksklusif pada satu subgroup saja namun harus bergerak keluar dan masuk dari beberapa sistem perilaku budaya setiap hari dan menggunakan program budaya masing-masing sesuai di mana dia berada. Anggota dari subgroup juga harus berpartisipasi dalam sistem perilaku budaya dalam domain publik dari masyarakat yang lebih luas. Misalnya, bayangkan kehidupan keluarga apa yang disukai dalam masyarakat yang pluralis. Pada titik tertentu gambaran kita adalah stereotipe. Suami dan istri memulai hari mereka dengan menggunakan perilaku dan benda yang terpola secara budaya sesuai dengan agen pranata dari keluarga untuk menyiapkan makan pagi dan mengantarkan anak ke sekolah (ibu) kerja sang istri dalam lembaga hukum (pengacara). Dalam pekerjaan, suami istri dapat mengadopsi bentuk budaya yang memadai untuk fungsinya secara efektif. Pada malam harinya, seluruh anggota keluarga pergi keluar untuk makan di restoran China dan harus mengadopsi kebiasaan budaya etnis untuk jenis sistem tindakan ini. Pada hari Minggu, keluarga pergi ke gereja untuk subgroup yang lain di aman anggota menjadi bagian dari keyakinan dalam lingkungan metafisik Kristen.
Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar, wilayah yang luas, dan terletak pada posisi silang dunia memungkinkan terjadinya perpaduan budaya yang amat kompleks. Ada ratusan suku dengan jumlah bahasa telah menempatkan Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Masing-masing etnis memiliki budayanya masing-masing yang tentunya menuntut kesadaran akan kebhineka tunggal ikaan yang kokoh demi terbentuknya wawasan nasional yang kokoh pula.        
Terjadi mobilitas manusia antar wilayah geografi yang sangat cepat. Kita bertemu dengan orang Solo (Jawa Tengah) dan Malang (Jawa Timur) yang berjaualan bakso di Jayapura (Papua). Kita bertemu orang Batak yang menjadi pengacara di Jakarta, atau sopir angkutan kota di Bandung. Kita menemui rumah makan Padang di seluruh wilayah Indonesia. Anda juga bisa bertemu dengan orang Cina, Arab, dan India di Makasar atau di Sorong. Semua itu hanyalah persoalan ekonomi, belum membicarakan perkawinan campuran antara orang Cina dengan Madura, orang Jawa dengan orang Sunda, antara orang Belanda dengan orang Menado. Dari dua isu itu saja, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita telah mengalami diferensiasi status dan pernan etnis dan ras di dalam situasi sosial, psikhologis, religius, politis dan lain-lain.         
Setiap mahasiswa datang ke kampus dengan suatu identitas apakah identifikasi dengan kelompoknya ini disadari atau tidak. Identifikasi ini harus diakui dan dihormati oleh pengajar. Intinya adalah mengakui adanya perbedaan, bukan mengabaikan atau membeda-bedakanhya. Agar siswa mengetahui siapa dirinya dan darimana dia berasal, hidup di lingkungan budaya yang bagaimana dan harus berperilaku dan bersikap yang bagaimana, perlulah dia mengetahui wawasan multikultural. Dia perlu mengetahui budaya lokalnya, budaya nasional yang ada di nusantara ini serta mengenal pula budaya dunia/universal. Karena pada era global ini budaya lokalnya pada dasarnya merupakan bagian utuh dari budaya dunia. Tarcisius Chin (dalam Lilian Too, 2002) menyatakan bahwa dengan globalisasi dan dimulainya abad Pasifik, ada juga kebutuhan paralel untuk mengembangkan otak bagian kanan untuk dapat menghargai tradisi, norma, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Seni manajemen berarti mengelola dalam konteks budaya, yang berakar pada kepercayaan dan kebijakan yang turun temurun.   
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana karakteristik Indonesia sebagai masyarakat multicultural?
2.      Seperti apa karakteristik Indonesia?
3.      Bagaimana karakteristik etnis yang ada di Indonesia?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui karakteristik Indonesia sebagai masyarakat multicultural,
2.      untuk menetahui seperti apa karakteristik Indonesia
3.      untuk mengetahui karakteristik etnis yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Indonesia 
Indonesia memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam segenap segi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Karakteristik itu bisa dalam bentuk:
1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah. Indonesia yang jumlah penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi potensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrampilan yang memadai.  Negara Indonesia termasuk negara yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai di negara lain. Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan sabar dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain.Namun karena kemampuannya rendah maka tenaga kerja Indonesia itu hanya berada pada sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan dari segi upah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.
2. Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15 terbesar dunia. 
3. Posisi silang. Indonesia terletak di antara dua Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia) karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian dari budaya dari berbagai negara. Sejarah membuktikan 
4. Kekayaan alam dan daerah tropis. Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim (penghujan dan kemarau) maka mungkin saja membuat masyarakat Indonesia ini memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya Jawa yang mengatakan “ono dino ono upo” (ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak bisa makan). Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah namun kekayaan ini masih merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga Indonesia menduduki kelompok negara yang miskin dari segi pendapat perkapita pertahun warganya. Sungguh ironis, negaranya memiliki kekayaan besar namun warga masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya masih rendah. 
5. Jumlah pulau yang banyak. Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun lebih berujud benua (kontinen), sedangkan pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6. Persebaran pulau. Persebaran pulau yang ”terhalang” oleh air laut ini menimbulkan kendala tersendiri dalam peningkatan taraf hidup maupun pembinaan pendidikan. Bahkan warga masyarakat dari Talaud (Sulawesi) harus membutuhkan waktu selama dua minggu hingga satu bulan perjalanan untuk mengurus surat nikah. Jadi ada kendala geografis yang membuat masyarakat di berbagai tempat di Indonesia ini kurang bisa mengatasi ketertinggalan dari daerah lain yang lebih maju.
7. Kualitas hidup yang tidak seimbang. Kesenjangan sosial ekonomi bukan saja antar daerah namun antar masyarakat dalam wilayah yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok yang tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan kantong-kantong kemiskinan. Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah tersulut dengan perkelahian, pertikaian dan bentrokan. 
8. Perbedaan dan kekayaan etnis. Adanya perbedaan ini dapat memperkaya budaya antar daerah dan dapat menjadi mosaik yang indah. Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik adu domba yang sudah terlalu sering kita alami selama sejarah panjang bangsa ini.

B.     Etnis yang ada di Indonesia
A. Konsep Budaya Cina 
 Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang mengutamakan:
 - nilai kemakmuran dan kelimpahan harta,
 - kedamaian dan ketenteraman, 
- kesehatan dan
 - umur panjang.     
Budaya Cina tidak lepas dari kepercayaan orang Cina tentang Feng Shui sebagai seni hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan alam. Diyakini Feng Shui menjanjikan kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang mengikuti prinsip dan aturannya ketika membangun rumah, merancang kota, tempat kerja dan mengubur keluarga yang meninggal. Feng shui ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni ini yang paling kuno adalah Yang Yun Sang yang diakui sebagai Penemu Feng Shui.     
 Mengapa kita mempelajari feng shui ? Karena feng shui dapat memberikan sumbangan pada pemahaman kita tentang aspek filsafat Cina yang dewasa ini populer di berbagai negara, dengan potensi untuk menjadi daya tarik universal. Feng shui telah beranjak dari konsep identitas budaya nasional, Cina menjadi konsep identitas budaya universal/global.       
Konsep feng shui adalah kebijakan kuno yang menyarankan adanya keseimbangan dan keselarasan dengan alam, seperti dengan gunuung dan sungai, dengan angin dan airnya. Praktek feng shui Cina menyatukan faktor-faktor ini dalam satu bentuk dasar yang menjanjikan terpenuhinya keempat pandangan hidup orang Cina di atas. Bagi mereka, membangun rumah, tempat usaha bahkan tempat tidur perlu memperhatikan keharmonisan dan kseimbangan. Menurut Y.B. Datuk Seri Dr. Ling Liong Sik, Presiden Asosiasi Cina Malaysia (Lilian Too, 2002: xiii)
Feng shui merupakan komponen yang menguntungkan dari kebudayaan Cina. Prinsip-prinsip Feng shui yang berorientasi pada lingkungan ini menjadi dasar pemikiran Cina yang sampai sekarang masih kuat dipegang dan bahkan sekarang makin berkembang ke luar budaya Cina. Budaya Cina tidak lepas dari kepercayaan orang Cina tentang Feng Shui sebagai seni hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan alam.
Feng Shui adalah semua tindakan untuk menangkap serta menciptakan Chi dan memasukkannya ke tempat tinggal dan tempat kerja (Lilian Too, 1995: 3 Diyakini Feng Shui menjanjikan kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang mengikuti prinsip dan aturannya ketika membangun rumah, merancang kota, tempat kerja dan mengubur keluarga yang meninggal. Feng shui ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni yang paling kuno adalah Yang Yun Sang, penasehat istana Kaisar Hi Tsang,  yang diakui sebagai Penemu Feng Shui dan mulai dicatat pada 888 sebelum masehi (Lilian Too, 2002: 2).
Secara harfiah, feng shui berarti angin dan air. Ide dasarnya adalah penempatan posisi yang baik (rumah, tempat usaha, dan tempat tidur, bahkan kuburan) akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan, kekayaan dan kebahagiaan.  Secara filosofis, feng shui adalah angin yang tidak dapat kamu mengerti dan air yang tidak dapat kamu genggam. Orang akan melakukan berbagai upaya penyesuaian untuk mendapatkan keharmonisan yang diinginkan agar pengaruh negatif dan nasib buruk tidak menimpa seseorang. Faktor-faktor terpenting yang harus dipertimbangkan adalah bentuk bukit dan lembah (bangunan gedung sekitar yang diumpamakan bukit dan lembah), arah aliran air dan sungai (termasuk juga arah jalur jalan raya), akibat yang ditimbulkan angin (feng) dan air (air), begitu juga bentuk dan tinggi bangunan.
Unsur angin dan air secara bersama-sama merupakan kekuatan unsur alam yang mengalir dan mempengaruhi permukaan bumi. Feng shui mengakui bahwa permukaan tanah diliputi oleh angin dan air. Feng shui menekankan bahwa manusia perlu hidup dalam keselarasan dengan angin dan air di tanah, jika kita menginginkan unsur ini menciptakan aliran energi positif yang menyebabkan kita mendapat keuntungan. 
Di sini kita menembus budaya Cina yang khas dari penggunaan simbol, kepercayaan, dan astrologi Cina yang meliputi seluruh spektrum ketertarikan orang Cina terhadap hubungan antara manusia dan alam semesta yang menekankan kebutuhan mendesak akan keseimbangan dan keselarasan. Konsep yang hampir sama dengan konsep budaya bangsa Indonesia.      
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya Cina yaitu:   
1.      Chi (napas kosmis), 
 Chi adalah energi, daya hidup yang membantu keberadaan manusia. Chi tercipta di alam oleh air yang mengalir dengan lembut atau oleh bentuk gunung dan oleh bentuk simetri dari sekelilingnya. Chi kosmis dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga diyakini bisa memberi pengaruh baik pada nasib seseorang. Chi kosmis adalah sumber ketenangan dan kemakmuran, kekayaan yang berlimpah, kehormatan dan kesehatan yang baik.  Chi tidak boleh berhamburan atau tertiup. Jika hal itu terjadi tak akan baik nasibnya. Chi terbawa angin dan menyebar sehingga tempay yang berangin dianggap tidak menguntungkan. Sebaliknya Chi yang ada di tempat yang dikelilingi air tidak akan berhamburan sehingga tetap berkumpul dan dianggap sebagai lokasi yang menguntungkan. Jenis air harus diperhitungkan. Aliran air yang deras atau yang lurus dapat menghanyutkan Chi sehingga perlu dihindari. Inti keyakinannya adalah menjebak energi Chi yang mengalir melewati suatu tempat dan mengumpulkannya tanpa membiarkan energi itu berhenti.
Teorinya adalah mencari lokasi yang tidak terletak di bukit atau daerah vertikal lurus. Lokasi yang ideal adalah yang terlindung dari angin yang kers dan ada aliran air dan sungai yang berkelok dan lambat. 



2.      Lima unsur : logam, air, kayu, api dan tanah.  
 Dalam budaya Cina, ada lima unsur utama yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Semua perhitungan Cina, termasuk waktu, tahun, dan tanggal kelahiran dikelompokkan ke dalam salah satu unsur ini. Kelima unsur ini juga diasosiasikan dengan warna, musim, arah mata angin dan planet.
-    API berwarna merah, musim panas dan arah selatan
-     AIR dianggap berwarna hitam, musim dingin dan arah utara.
-     KAYU berwarna hijau dan arah timur.
-     LOGAM berwarna putih atau keemasan dan arah barat.
-    TANAH berwarna kuning dan arah pusat.

3.       I-Ching  
I Ching adalah naskah kuno yang menjadi dasar peradaban, yang menekankan hubungan antara nasib manusia dan alam, memberikan pandangan mengenai Alam Semesta sebagai satu kesatuan yang senantiasa berada dalam aliran konstan yaitu perubahan. I Ching adalah sumber pemikiran dan perilaku semua orang Cina. Iching terdiri dari 64 heksagram, yang masing-masing berisi kombinasi garis putus dan garis utuh yang mewakili tenaga kutub alam semesta. Yang bersifat positif (garis utuh) dan Yin bersifat negatif (garis putus). 
http://landsofwisdom.com/wp-content/uploads/2011/05/I-Ching-trigrams.png

Masing-masing trigram menggambarkan arah, elemen, binatang dan lain-lain. Trigram ini dikombinasikan untuk membentuk 64 heksagram. Makna kombinasi menyusun sistem peramalan yang mendetail.

4.      Tahun kelahiran
Orang Cina biasa menggunakan simbol binatang untuk menggambarkan sifat dan tahun kelahiran seseorang. Ada 12 nama binatang yang digunakan untuk menggamabarkan tahun kelahiran. Berikut ini adalah tabel tahun kelahiran dan unsur yang dimiliki oleh oarng yang terlahir pada tahun tertentu.

5.      Yin-yang (konsep keselarasan dan keseimbangan)  
Semua tradisi dan kepercayaan Cina didasarkan prinsip dualisme, yang begitu luas dibahas dalam I Ching. Yin dan Yang adalah prinsip negatif dan positif yang menguasai alam semesta dan kehidupannya. Yin dan yang digambarkan dengan lambang seperti sebuah telur dengan warna hitam dan putih yang terpisah. Yin dan Yang bersama-sama melambangkan keselarasan yang sempurna. Prinsipnya adalah keseimbangan antara dua kekuatan itu haru seimbang. Terlalu banyak salah satu unsur dapat berakibat buruk.  
Orang harus terus menerus mewaspadai perubahan lingkungan yang mempengaruhi keseimbangan dan harus selalu menyelaraskan. 
YIN Gelap, pasif, wanita, bulan, dingin, lembut, ganjil, negatif, diam
YANG Terang, aktif, pria, matahari, panas, keras, genap, positif, gerak
Yin dan yang saling melengkapi, saling tergantung yang bersama-sama membentuk kekuatan. Yin dan Yang terus berinteraksi dan membuat perubahan. Musim panas memberi jalan bagi musim dingin, malam mengikuti siang, bulan mengikuti matahari, gelap mengikuti terang dan seterusnya. 



6.      Pa kua 
Berbentuk segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan. Menurut mata angin Cina, titik selatan diletakkan di bagian atas. Utara di bawah, timur di kiri dan Barat di kanan. Lambang Pa Kua berasal dari Delapan Trigram I Ching yang diletakkan di sekitar sisi lambang itu. Bentuk Pa Kua memainkan peranan penting dalam praktek Feng shui karena merupakan salah satu pemecahan paling penting yang digunakan para praktisi untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam rumah atau lokasi. (WongSeng Tian, 2004, Lilian Too, 1994) 
7.      Tahayul dan Simbolisme.
Feng shui berkaitan erat dengan kepercayaan akan takhayul dan lambang yang menjadi karakter orang Cina. Di kalangan masyarakat Cina, ada beberapa kepercayaan takhayul yang mengelilingi naga. Pada intinya, naga dipercayai membawa kemakmuran dan kekayaan ketika naga itu sedang bersenang hati, seperti ketika naga langit membawa kehidupan dengan menurunkan hujan sehingga tanaman dapat tumbuh dan panen berhasil. Atau sebaliknya membawa bencana dan kematian.  Mereka menggunakan benda-benda takhayul yang menyimbolkan permohonan seperti patung katak yang menggigit uang logam yang diletakkan di meja atau dekat kotak uang sebagai simbol permohonan rejeki yang melimpah.
Mereka menggunakan cermin dekat makanan atau dekat uang supaya terlihat berlipat ganda sehingga diharapkan uang dan rejeki yang bertambah. Mereka menggunakan mainan kucing yang melampai-lampaikan tangan sebagai simbol menarik pembeli agar memasuki toko dan membeli barangnya. Hal lain yang menjadi ciri budaya orang Cina adalah penghormatan pada leluhur, penghargaan yang lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Sehingga ada upacara pada hari Cing Bing untuk menghormati leluhur. Namun nampaknya dengan beralihnya sebagian besar orang Cina ke agama besar yang ada, penghormatan semacam ini mulai berkurang. 
B.  Konsep budaya Jawa  
Ada beberapa konsep budaya Jawa yang akan diuraikan di bawah ini: 
1.      Religi Jawa : anismisme, dinamisme, sinkretisme dan agama Jawa      
Masyarakat Jawa telah mengenal Tuhan dengan segala konsep dan bentuknya yang khas. Pengenalan Tuhan yang tertua dilakukan dengan pemujaan pada roh dan kekuatan benda-benda. Pemujaan pada roh disebut animisme dan pemujaan pada kekuatan benda-benda disebut dinamisme. Religi semacam ini masih berlangsung dan mewarnai kehidupan sampai sekarang, yaitu dengan adanya ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk penyelarasan dengan lingkungan metafisik, agar kekuatan adikodrati itu selaras. Wujud nyata dalam pemujaan keduanya adalah melalui permohonan berkah. Roh dan benda-benda (keris, batu akik, jenis tanaman tertentu) di sekitar manusia dianggap memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan kebahagiaan atau penderitaan bagi manusia. Misalnya keris peninggalan orang tua yang diperuntukkan untuk petani tidak cocok untuk orang yang menduduki jabatan tertentu karena dipercaya dapat menurunkan kedudukan orang tersebut. Begitu juga sebaliknya keris untuk pejabat tidak boleh dipegang oleh petani karena akan mendatangkan penyakit. Kepercayaan adanya orang sakti dan prewangan dipandang sebagai bantuan roh leluhur atau nenek moyang.   Representasi pemujaan roh dapat dilihat dari tradisi budaya selamatan orang meninggal.      
 Ada penyatuan ajaran antara animisme, dinamisme yang berbaur dengan agama Hindu, Budha bahkan dengan Kristen dan Islam sehingga terjadilah sinkretisme. Wujud sinkretisme yang paling menonjol adalah perilaku mistik kejawen. Tampaknya mistik kejawen menjadi sentral sinkretisme masa lalu sampai sekarang (Endraswara, 2003: 63). Di Jawa konsep mistik lebih dikenal dengan paham panteisme atau manunggaling kawula dengan gusti. (anda bisa mengkaji lebih lanjut dalam karya Zoetmulder, P.J. 1991. Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jakarta : PT Gramedia). Karena itu Islam di Jawa ada penggolongan Islam putihan (berasal dari muti’an yang artinya patuh) dan Islam abangan (berasal dari aba’an artinya membangkang). Islam putih bisa diartikan Islam yang sesuai dengan ajaran asli Arab yang biasanya diajarkan di pondok pesantren dan Islam abangan (kejawen)  yang lebih banyak diwarnai sinkretisme.
 
2.      Slametan (Selamatan)
  Slametan atau selamatan adalah sebuah ritual yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan (Endrasana, 2003: 7).  Selamatan yang diadakan secara turun temurun dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan makhluk halus (Triyoga, 1991: 83). Fungsi utama dari selamatan yang diadakan adalah untuk menetralisir bencana yang datangnya dari luar kekuasaan manusia. Dalam selamatan, selain diucapkan doa dan matera, harus disediakan sesaji makanan, bunga dan kemenyan. Sesaji kemenyan dan bunga adalah makanan utama makhluk halus yang harus ada pada setiap selamatan karena benda-benda tersebut merupakan syarat utama agar perdamaian dapat diterima makhluk halus (Triyoga, 1991: 83). Dengan memberi sedekah, diharapkan makhluk halus itu mau membantu dan tidak menganggu manusia.
Dalam tradisi Jawa muncul berbagai macam selamatan. Dari selamatan sebelum kelahiran sang bayi, lahir, perkawinan hingga kematian sangat mewarnai budaya Jawa. Ada tradisi peringatan dalam kandungan : neloni (tiga bulan peringatan bayi dalam kandungan), mitoni (tujuh bulan karena dianggap pada usia tujuh bulan ini roh mulai lengkap). Ada tradisi dalam perkawinan: midodareni (tradisi yang dilakukan pada malam hari menjelang perkawinan), budaya upacara perkawinan yang sarat dengan aturan dan simbol. Upacara kematian: slametan surtanah (geblag) yang dilakukan pada hari meninggalnya seseorang, nelung dina (tiga hari), pitung dina (tujuh hari), patang puluh (empat puluh), nyatus (seratus hari), mendhak pisan (satu tahun), mendhak pindho (dua tahun) dan nyewu (seribu hari). 
Sedangkan tradisi yang berkaitan dengan benda “sakti” biasanya dilakukan pembersihan benda tersebut setiap tahun sekali, pada bulan Sura (Muharram) dengan cara dicuci. Tindakan lain adalah pemerian sesaji pada rumah, pohon besar, perempatan jalan dan tempat yang dianggap angker lainnya. Dalam budaya mereka, penunggu tersebut harus diberi sesaji agar mau membantu hidup manusia atau paling tidak, tidak menganggu kehidupan mereka. Persyaratan selamatan bervariasi tergantung jenis selamatannya. Mulai dari menyediakan jenang warna- warni (merah, kuning, putih, hitam dan abu-abu), hingga menyembelih kepala kerbau. Slametan menjadi sebuah permohonan simbolik (Endrasana, 2003: 10). Lebih dari itu Slametan adalah manifestasi kultur budaya asli (Endrasana, 2003: 10).
 
3.       Primbon, suluk, dan wirid      
Primbon, suluk dan wirid merupakan karya sastra yang banyak memuat ajaran sinkretisme. Primbon antara lain memuat petung (perhitungan) untuk menentukan perkawinan, mengetahui watak manusia (watak bayi lair), pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya. Suluk dan wirid berisi wejangan atau petuah yang diyakini dari ajaran para wali songo (wali sembilan) yang memuat ajaran Islam Isoteris. Karya sastra itu antara lain seperti Serat Centhini, serat Cebolek, serat wirid Hidayat Jati, Babat Tanah Jawa dan sebagainya. Bizawie mengemukakan terjadinya perlawanan kultural agama asli Jawa (Endrasana, 2003: 64). Dengan munculnya Serat Cebolek, telah memunculkan sinkretisme Islam Jawa yang luar biasa. Di dalamnya ada mistikisme Jawa dan neo tasawuf. Kehadiran tokoh Syeh Ahmad al-Mutamakkin dianggap sebagai pembangkang terhadap ajaran syariah dan dianggap sebagai pelanjut ajaran syeh Siti Jenar. Syeh Siti Jenar ini merupakan tokoh sentral di luar wali songo yang dianggap mengabaikan ajaran syariah (hukum) dan mengajarkan makrifah (pengetahuan tentang Allah) pada orang belum banyak mengenal aturan hukum dalam Islam yang akhirnya harus menjalani hukuman mati.  

4.      Tata krama      
 Tata krama adalah adab sopan santun Jawa dalam berbahasa, bersikap dan bertingkah laku yang sangat dijunjung tinggi dan menjadi ciri budaya Jawa. Dalam berbahasa mereka membedakan dengan kategori ngoko, kromo madyo dan krama inggil. Misalnya untuk kata ”makan” dalam bahasa Jawa ada tingkatan ”madhang”, atau ”mangan” untuk ngoko, tingkatan ”nedho” untuk kromo madyo dan ”dhahar” untuk kromo inggil. Ngoko untuk orang yang sama kedudukannya dengan dirinya atau lebih rendah (misalnya sesama teman atau kepada anak atau adik). Kromo madyo untuk membahasakan sedikit di atas dirinya (misalnya mas nembe/taksih nedho = kakak laki-laki sedang makan). Kromo inggil ditujukan kepada orang yang lebih tua atau lebih atas tingkatan sosialnya. Misalnya Ibu taksih dhahar.    
  Jadi kalau kita simpulkan, hal-hal yang terkait dengan sub a (religi), b (slametan), dan c (primbon, suluk dan wirid ) di atas lebih mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan yang d. adalah sisi horisontal. Artinya sisi vertikal berkaitan dengan orientasi Ketuhanan atau penyesuaian dengan nilai- nilai Ketuhanan atau roh) sedangkan sisi horisontal berkaitan dengan sisi hubungan antara manusia (yang masih hidup). Namun pembedaan itu hanya bersifat rasional ilmiah saja, sedangkan dalam kenyataannya sulit dipisahkan. Misalnya, ada tata krama yang kuat di daerah Imogiri (makan raja-raja Jawa) yang harus dipatuhi oleh seorang peziarah. Mereka harus menggunakan pakaian adat tertentu untuk berziarah pada makan raja-raja Surakarta dan berganti pakaian bila berpindah ke makam raja Yogyakarta. Padahal jaraknya hanya beberapa meter saja. (Baca karya Woodward, 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. LkiS. Yogayakarta). 

5.       Petung      
Petung atau perhitungan menduduki tempat yang sangat strategis dan urgen dalam budaya Jawa. Karena setiap kegiatan apa pun orang Jawa tidak bisa meninggalkan tradisi menggunakan perhitungan ini. Misalnya untuk mengetahui watak seseorang, menentukan hari perkawinan atau menentukan arah rumah (mirip budaya Cina) harus memperhitungkan hari kelahiran dan saat (waktu) yang tepat.
Hari kelahiran dihitung: minggu = 5, senin = 4, selasa = 3, rabu = 7. kamis = 8, jumat = 6, sabtu = 9. Sedangkan pasaran dihitung: paing = 9, pon = 7, wage = 4, kliwon = 8, legi = 5. Seseorang yang lahir pasti bisa ditentukan atas kombinasi hari dan pasaran. Misalnya Jumat Paing berarti = 6 + 9 = 15. Jumlah yang 15 itu dapat diketahui watak, perkawinan, arah rumahnya dan seterusnya. 
Perhitungan Jawa Kita di sini sekedar mengetahui sekilas keyakinan dasar orang Jawa sehingga kita bisa memahami mengapa orang Jawa tertentu tidak sembarangan menentukan hari perkawinan atau bahkan menolak calon menantu karena perhitungan di atas yang tidak cocok.  
6.      Makanan      
Nama dan jenis makanan dapat menjadi ciri penanda budaya suatu daerah termasuk budaya Jawa. Di dalam masakan dan makanan Jawa ada yang bernama : rawon, gudeg, lontong balap, urap-urap, gado-gado, sop buntut dan sebagainya.

7.      Falsafah hidup      
Selain hal-hal yang disebut di atas, falsafah hidup orang Jawa dapat menjadi ciri penanda khas tradisi budaya Jawa. Falsafah ini menjadi pedoman hidup yang diikuti oleh oang Jawa generasi dulu namun sekarang telah banyak ditinggalkan karena kurangnya pemahaman dan kekurang mampuan dalam menafsirkan makna hakikinya. Di samping itu munculnya nilai-nilai dari luar yang bersifat konsumeris dan materialis membuat nilai-nilai budaya yang adiluhung (mulia) ini mulai ditinggalkan generasi muda kita. Oleh karena itu dalam Pendidikan Multiklutural perlulah memahami dan memaknai kembali berbagai falsafah hidup budaya Jawa ini. Misalnya ajining diri soko lathi, ajining awak soko tumindak, ajining sariro soko busono (kehormatan diri berasal dari tutur kata yang baik (lathi), dari perbuatan baik yang kita lakukan (tumindak) dan dari pakaian yang kita sandang (busono), ngundhuh wohing pakarti (menuai buah dari yang ditanam = hukum sebab akibat), senajan mung sedumuk ning bathuk senajan mung senyari ning bumi, dibelani tohing pati (walaupun hanya satu sentuhan jari tapi dahi, walaupun sejengkal namun tanah, akan diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa = harga diri), alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat/bisa terjadi = yang merupakan pedoman yang lebih mengutamakan keselamatan), menang tanpa ngasorake (mengalahkan musuh tanpa merendahkan harga diri musuh), digdaya tanpa aji (sakti tanpa memiliki aji-aji kesaktian = seseorang yang dapat menjaga kewibawaan). Contoh-contoh di atas merupakan kearifan budaya yang ada pada budaya Jawa.  

8.      Produk budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan)      
Berbagai produk budaya seperti keris, wayang, rumah, pakaian dan peralatan lainnya dapat menjadi ciri penanda yang ada pada budaya Jawa. Benda-benda ini hanya bisa dimengerti kalau kita memahami lebih dalam makna yang terdapat pada simbol-simbol yang terdapat di  dalamnya.   
Dalam budaya Jawa tradisional, keris bukan sekedar senjata yang unik bentuknya, tetapi lebih merupakan kelengkapan budaya spiritual. Ada anggapan di kalangan Jawa tradisional, seseorang baru bisa dianggap utuh dan lengkap sebagai lelaki sejati jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila. Curiga, berarti keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (motor atau mobil), wisma adalah rumah untuk tempat tinggal, wanita berarti isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung arti simbolik dari keindahan.
Keris, makna simboliknya adalah kehormatan, kedewasaan, dan keperkasaan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela bangsa dan negara.  Pada zaman dulu, penghargaan paling tinggi bukan harta benda berupa emas permata, melainkan keris. Pada perkembangannya, keris menjadi simbol kepangkatan. Keris Raja berbeda dengan bawahannya. Berbeda dari bahan keris, detil-detil perhiasan dan perabot kelengkapannya. Tingkat kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa dilihat dari warangka (sarung) yang membungkus bilah keris. Warangka keris Raja, berbeda dengan warangka bawahannya.
Salah satu  keunikan keris adalah kekuatannya pada unsur-unsur yang ada pada keris. Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada berbagai macam varian. Di lingkungan keraton Surakarta, ukiran tunggak semi gaya Paku Buwono hanya boleh dipakai oleh Raja. Pendhok (selongsong logam pada bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah, hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan kepangkatan penyandangnya. Warna merah untuk Raja dan kerabatnya, atau bangsawan. Hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Coklat, untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam, untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.     
Selain tanda penghargaan, pada masa lalu juga dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu dan tahun  Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional, disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda, binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram untuk menunjuk angka tahun.
Keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri (Brahmana atau untuk Raja). Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut utusan Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, Raja meminjamkan sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sesuai dengan bobot tugas yang disandangnya.   Dalam kehidupan sehari-hari, keris berfungsi seremonial, menjadi lambang persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Salah satu simbol persaudaraan atau persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bahkan akhir- akhir ini Presiden RI menggunakan kersi sebagai cendera mata untuk diberikan kepada Presiden/kepala negara tetangga sebagai simbol persahabatan negara Indonesia dengan negara lain.
Keris sudah menjadi identitas nasional.   Selain makna-makna duniawi di atas, keris dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual yaitu sebagai manifestasi pandangan hidup, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup spiritual, keris merupakan azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni” (ingat animisme dan dinamismisme). Sampai saat ini orang modern masih banyak yang mempraktekkannya. 

C. Konsep budaya Bali  
1.      Dharma
 Dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau kewajiban dan hukum. Yaitu suatu jalan yang halus dan sejuk yang dapat melindungi dan menjaga orang yang mengikuti dan menjauhkan bencana sehingga menjadi orang yang gembira, tenteram dan bahagia. Mereka melaksanakan dharma itu dalam perilaku kesehariannya. Dalam keseharian mereka tidak akan pernah lupa melakukan upacara ritual yang menjadi kewajibannya. Sehingga khusus untuk pulau Bali saja dibutuhkan berton-ton bunga setiap hari untuk kebutuhan pemujaan. 

2.      Tri hita karana
 konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi :  - keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan  - keselarasan hubungan manusia dengan sesama manusia - keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Yang pertama disebut hubungan Niskala (tidak nyata, rohani), yang kedua dan ketiga disebut sekala (nyata, duniawi). Konsep sekala diwujudkan dalam pengertian Tri kaya (tiga aspek) yaitu pikiran (manah), perkataan (wak) dan perbuatan (kaya). Prinsip keselarasan masyarakat Bali yang dilandasi ajaran Hindu Bali ini mirip dengan keselarasan dari dari budaya Cina dan Jawa. Jadi secara konseptual, keselarasan, keserasian dan kesimbangan merupakan budaya khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Seandainya prinsip ini benar-benr dihayati dan diamalkan maka bencana di Sidoarjo oleh Lapindo Brantas ini tidak akan terjadi. Karena pengeboran ini sama sekali tidak melihat keselarasan di atas. 

3.      Rwa Bhineda
 Konsep dualistis yang mengekspresikan dua kategori yang berlawanan dalam hidup (positif dan negatif, baik dan buruk).  Segala sesuatu pasti ada kelebihan dan ada kekurangan. Ada bahagia dan ada derita. Tidak ada hidup yang tidak diakhiri kematian. Prinsip rwa bhineda ini sama dengan prinsip Yin-Yang dari budaya Cina. 

4.      Karmaphala
Satu dari lima sistem kepercayaan agama Hindu yaitu  - percaya adanya Tuhan,  - percaya adanya Atman (roh),  - percaya adanya Punarbawa (reinkarnasi),  - percaya adanya roh leluhur dan  - percaya adanya karmaphala (karma = perbuatan, phala = buah)
Karmaphala adalah hasil perbuatan seseorang. Ala gawe ala nemu, ayu gawe ayu nemu (bila melakukan hal yang tidak benar maka kesengsaraan yang akan diperoleh, sebaliknya bila melakukan hal yang benar maka kebahagiaan yang akan didapat). Karmaphala adalah sesuatu sebab akan menghasilkan akibat sehingga sering disebut hukum karma. Oleh karena itu berhati-hatilah dalam berbuat. Setalah kita kaji lebih dalam, ternyata prinsip ini sama dengan prinsip dari budaya Jawa Ngundhuh wohing pakarti (Budiasa, 1997).
D. Selayang pandang berbagai konsep budaya daerah lain  
       Ada tradisi budaya di daerah Maluku yang mengorbankan nyawa orang untuk pelantikan seorang kepala desa tertentu. Namun budaya ini nampaknya segera dihilangkan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Ada satu suku di Kalimantan yang menghukum secara tegas perselingkuhan dengan cara mengikat pasangan itu dan menenggelamkannya dengan memberi pemberat dari batu. Di Banyuwangi dan sebagian daerah lain, ada tradisi kawin lari untuk menghindari kewajiban adat yang mungkin sulit dipenuhi oleh mempelai laki-laki. Di pulau Nias, ada tradisi lompat batu. Seorang remaja akan memasuki batas kedewasaan setelah dia melompati batu yang cukup tinggi. Di Papua, peperangan antar suku baru dapat didamaikan bila korban antara pihak yang berperang itu dalam jumlah yang seimbang. Di Tegal, Jawa Tengah, ada satu kampung yang jumlahnya tidak lebih dari seratus orang dan bila lebih dari itu harus ada yang meninggalkan daerah itu. Ada juga di Boyolali, seluruh penduduknya dilarang tidur di kasur karena takut mendapat kutukan bila melanggarnya.         
Di Jawa Barat ada pantangan yang disebut pamali. Pamali tarung jeung dulur. Pamali bengkah jeung dulur (pantangan berkelahi dengan saudara, pantangan merenggangkan persaudaraan). Jadi konflik adalah pantangan yang jika dilanggar dapat mengakibatkan sesuatu yang buruk. Istilah ini tergambar dalam kisah Hariang Banga dan Ciung Wanara. Keduanya putra raja di tatar sunda. Mereka berkelahi untuk memperebutkan kerajaan Galuh Pakuan. Terjadilah perang sehingga Hariang Banga terdesak ke timur dan sampai di suatu sungai Pamali (Ci Pamali). Pamali artinya pantangan/tabu dalam bahasa Sunda. Ada bentuk dari kearifan tradisional berupa pepatah silih asih, silih asah dan silih asuh (artinya saling menyayangi, saling memberi pengalaman dan pengetahuan dan saling membantu).


















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Konsep Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang mengutamakan  nilai kemakmuran dan kelimpahan harta,  kedamaian dan ketenteraman,  kesehatan dan  umur panjang.          
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya Cina yaitu :Chi yaitu energi yang  dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga memberi pengaruh baik pada nasib seseorang. Lima unsur yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Masing- masing unsur mempunyai siklus merusak dan siklus positif.  I-Ching atau Buku tentang Perubahan yang menekankan hubungan antara nasib manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang senantiasa berada dalam aliran konstan yaitu perubahan. Tahun kelahiran yang disimbolkan binatang untuk menggambarkan sifat dan tahun kelahiran seseorang, yaitu shio tikus, kerbau, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing dan babi. Yin-yang merupakan konsep keselarasan dan keseimbangan yang didasarkan prinsip dualisme yang saling melengkapi, saling tergantung yang bersama-sama membentuk kekuatan.  Pa kua yaitu lambang berbentuk segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan yang digunakan untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam rumah atau lokasi. Tahayul dan Simbolisme yang berkaitan erat dengan kepercayaan akan takhayul dan lambang yang menjadi karakter orang Cina.        
Beberapa konsep budaya Jawa adalah  Religi Jawa : anismisme, dinamisme, sinkretisme dan agama Jawa, selamatan, primbon, suluk, dan wirid yang memuat ajaran sinkretisme, tata krama, petung untuk menentukan perkawinan, mengetahui watak manusia, pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya, makanan, falsafah hidup, produk budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan). Hal-hal yang terkait dengan religi, slametan, primbon, suluk dan wirid lebih mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan tata krama adalah sisi horisontal.                                                     

 Konsep budaya Bali mencakup dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau kewajiban dan hukum, Tri hita karana yaitu konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.Rwa Bhineda  yaitu konsep dualistis yang mengekspresikan dua hal yang berlawanan (positif dan negatif), dan Karmaphala adalah hasil perbuatan seseorang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar