BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Bangsa Indonesia memiliki banyak budaya yang dapat
memperkaya khasanah budaya nasional kita. Kita perlu memperoleh gambaran umum
tentang kondisi ke-Indonesia-an yang beragam dan gambaran yang lebih spesifik
tentang berbagai kelompok etnis dan budaya yang ada di tanah air ini. Dalam
Subunit 3.2 ini kita akan mengkaji karakteristik Indonesia yang beragam itu dan
selanjutnya mengkaji beberapa etnis sebagai identitas sosial budaya. Karena
keterbatasan tempat, waktu dan kemampuan penulis, maka hanya disajikan mengenai
Cina, Jawa dan Bali.Mengapa dipilih Cina ? Karena sekalipun jumlah mereka
sedikit, tetapi secara ekonomi sangat mendominasi negeri. Mengapa Jawa ? Karena
sebagian besar jumlah penduduk Indonesia berasal dari daerah ini. Karena jumlah
penduduknya banyak maka tentunya budayanya juga mempunyai banyak pengikut.
Mengapa Bali ? Karena Bali sangat dikenal sebagai tempat pariwisata budaya
dunia. Bahkan lebih dikenal daripada Indonesia sendiri.
Masyarakat
multikultur terbentuk dari subgroup yang berbeda dari yang satu dengan yang
lainnya dalam berbagai latar belakang: kelas sosial, etnis, ras, budaya,
gender. Orang dalam masyarakat multikultural bukan hanya menjadi anggota dari
satu budaya saja. Seseorang merupakan anggota dari berbagai subgroup yang
membentuk masayarakat, yang masing-masing diprogram oleh budayanya sendiri.
Sekalipun ini terlalu menyederhanakan. Budaya subgroup juga tumpang tindih dan
saling menerobos satu dengan yang lain, sehingga orang tidak menjadi anggota
secara eksklusif pada satu subgroup saja namun harus bergerak keluar dan masuk
dari beberapa sistem perilaku budaya setiap hari dan menggunakan program budaya
masing-masing sesuai di mana dia berada. Anggota dari subgroup juga harus
berpartisipasi dalam sistem perilaku budaya dalam domain publik dari masyarakat
yang lebih luas. Misalnya, bayangkan kehidupan keluarga apa yang disukai dalam
masyarakat yang pluralis. Pada titik tertentu gambaran kita adalah stereotipe.
Suami dan istri memulai hari mereka dengan menggunakan perilaku dan benda yang
terpola secara budaya sesuai dengan agen pranata dari keluarga untuk menyiapkan
makan pagi dan mengantarkan anak ke sekolah (ibu) kerja sang istri dalam lembaga
hukum (pengacara). Dalam pekerjaan, suami istri dapat mengadopsi bentuk budaya
yang memadai untuk fungsinya secara efektif. Pada malam harinya, seluruh
anggota keluarga pergi keluar untuk makan di restoran China dan harus
mengadopsi kebiasaan budaya etnis untuk jenis sistem tindakan ini. Pada hari
Minggu, keluarga pergi ke gereja untuk subgroup yang lain di aman anggota
menjadi bagian dari keyakinan dalam lingkungan metafisik Kristen.
Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang
besar, wilayah yang luas, dan terletak pada posisi silang dunia memungkinkan
terjadinya perpaduan budaya yang amat kompleks. Ada ratusan suku dengan jumlah
bahasa telah menempatkan Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Masing-masing
etnis memiliki budayanya masing-masing yang tentunya menuntut kesadaran akan
kebhineka tunggal ikaan yang kokoh demi terbentuknya wawasan nasional yang
kokoh pula.
Terjadi mobilitas manusia antar wilayah geografi
yang sangat cepat. Kita bertemu dengan orang Solo (Jawa Tengah) dan Malang
(Jawa Timur) yang berjaualan bakso di Jayapura (Papua). Kita bertemu orang
Batak yang menjadi pengacara di Jakarta, atau sopir angkutan kota di Bandung.
Kita menemui rumah makan Padang di seluruh wilayah Indonesia. Anda juga bisa
bertemu dengan orang Cina, Arab, dan India di Makasar atau di Sorong. Semua itu
hanyalah persoalan ekonomi, belum membicarakan perkawinan campuran antara orang
Cina dengan Madura, orang Jawa dengan orang Sunda, antara orang Belanda dengan
orang Menado. Dari dua isu itu saja, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan
sehari-hari kita telah mengalami diferensiasi status dan pernan etnis dan ras
di dalam situasi sosial, psikhologis, religius, politis dan lain-lain.
Setiap mahasiswa datang ke kampus dengan suatu
identitas apakah identifikasi dengan kelompoknya ini disadari atau tidak.
Identifikasi ini harus diakui dan dihormati oleh pengajar. Intinya adalah
mengakui adanya perbedaan, bukan mengabaikan atau membeda-bedakanhya. Agar
siswa mengetahui siapa dirinya dan darimana dia berasal, hidup di lingkungan
budaya yang bagaimana dan harus berperilaku dan bersikap yang bagaimana,
perlulah dia mengetahui wawasan multikultural. Dia perlu mengetahui budaya
lokalnya, budaya nasional yang ada di nusantara ini serta mengenal pula budaya
dunia/universal. Karena pada era global ini budaya lokalnya pada dasarnya
merupakan bagian utuh dari budaya dunia. Tarcisius Chin (dalam Lilian Too,
2002) menyatakan bahwa dengan globalisasi dan dimulainya abad Pasifik, ada juga
kebutuhan paralel untuk mengembangkan otak bagian kanan untuk dapat menghargai
tradisi, norma, dan nilai-nilai dalam masyarakat. Seni manajemen berarti
mengelola dalam konteks budaya, yang berakar pada kepercayaan dan kebijakan
yang turun temurun.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimana
karakteristik Indonesia sebagai masyarakat multicultural?
2. Seperti
apa karakteristik Indonesia?
3. Bagaimana
karakteristik etnis yang ada di Indonesia?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui karakteristik Indonesia sebagai masyarakat multicultural,
2. untuk
menetahui seperti apa karakteristik Indonesia
3. untuk
mengetahui karakteristik etnis yang ada di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik
Indonesia
Indonesia memiliki karakteristik yang perlu
dipertimbangkan dalam segenap segi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.
Karakteristik itu bisa dalam bentuk:
1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan
yang rendah. Indonesia yang jumlah penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi
potensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja
tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrampilan yang
memadai. Negara Indonesia termasuk
negara yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai
di negara lain. Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan
sabar dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain.Namun karena
kemampuannya rendah maka tenaga kerja Indonesia itu hanya berada pada
sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan dari segi upah. Sebagian besar
tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak yang bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.
2. Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah
seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15 terbesar dunia.
3. Posisi silang. Indonesia terletak di antara dua
Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia)
karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai
budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian dari budaya dari berbagai
negara. Sejarah membuktikan
4. Kekayaan alam dan daerah tropis. Karena pada
daerah tropis yang hanya mengenal dua musim (penghujan dan kemarau) maka
mungkin saja membuat masyarakat Indonesia ini memiliki budaya yang santai dan
kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya Jawa yang mengatakan “ono dino
ono upo” (ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak bisa
makan). Indonesia memiliki kekayaan yang melimpah namun kekayaan ini masih
merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga Indonesia
menduduki kelompok negara yang miskin dari segi pendapat perkapita pertahun
warganya. Sungguh ironis, negaranya memiliki kekayaan besar namun warga
masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya masih
rendah.
5. Jumlah pulau yang banyak. Amerika Serikat memang
memiliki wilayah yang luas, namun lebih berujud benua (kontinen), sedangkan
pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini
tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang ekstra keras dari pemerintah
untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6. Persebaran pulau. Persebaran pulau yang ”terhalang”
oleh air laut ini menimbulkan kendala tersendiri dalam peningkatan taraf hidup
maupun pembinaan pendidikan. Bahkan warga masyarakat dari Talaud (Sulawesi)
harus membutuhkan waktu selama dua minggu hingga satu bulan perjalanan untuk
mengurus surat nikah. Jadi ada kendala geografis yang membuat masyarakat di
berbagai tempat di Indonesia ini kurang bisa mengatasi ketertinggalan dari
daerah lain yang lebih maju.
7. Kualitas hidup yang tidak seimbang. Kesenjangan
sosial ekonomi bukan saja antar daerah namun antar masyarakat dalam wilayah
yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi kelompok yang
tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan kantong-kantong kemiskinan.
Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah tersulut dengan perkelahian,
pertikaian dan bentrokan.
8. Perbedaan dan kekayaan etnis. Adanya perbedaan
ini dapat memperkaya budaya antar daerah dan dapat menjadi mosaik yang indah.
Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang
tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik adu domba yang sudah terlalu
sering kita alami selama sejarah panjang bangsa ini.
B.
Etnis
yang ada di Indonesia
A.
Konsep
Budaya Cina
Budaya Cina
berkaitan erat dengan pandangan hidup orang Cina yang mengutamakan:
- nilai kemakmuran dan kelimpahan harta,
- kedamaian dan ketenteraman,
-
kesehatan dan
- umur panjang.
Budaya Cina tidak lepas dari kepercayaan orang Cina
tentang Feng Shui sebagai seni hidup dalam keharmonisan dengan alam sehingga
seseorang mendapatkan paling banyak keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari
keseimbangan yang sempurna dengan alam. Diyakini Feng Shui menjanjikan
kehidupan yang berlimpah bagi mereka yang mengikuti prinsip dan aturannya
ketika membangun rumah, merancang kota, tempat kerja dan mengubur keluarga yang
meninggal. Feng shui ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni ini yang
paling kuno adalah Yang Yun Sang yang diakui sebagai Penemu Feng Shui.
Mengapa kita
mempelajari feng shui ? Karena feng shui dapat memberikan sumbangan pada
pemahaman kita tentang aspek filsafat Cina yang dewasa ini populer di berbagai
negara, dengan potensi untuk menjadi daya tarik universal. Feng shui telah
beranjak dari konsep identitas budaya nasional, Cina menjadi konsep identitas
budaya universal/global.
Konsep feng shui adalah kebijakan kuno yang
menyarankan adanya keseimbangan dan keselarasan dengan alam, seperti dengan
gunuung dan sungai, dengan angin dan airnya. Praktek feng shui Cina menyatukan
faktor-faktor ini dalam satu bentuk dasar yang menjanjikan terpenuhinya keempat
pandangan hidup orang Cina di atas. Bagi mereka, membangun rumah, tempat usaha
bahkan tempat tidur perlu memperhatikan keharmonisan dan kseimbangan. Menurut
Y.B. Datuk Seri Dr. Ling Liong Sik, Presiden Asosiasi Cina Malaysia (Lilian
Too, 2002: xiii)
Feng shui merupakan komponen yang menguntungkan dari
kebudayaan Cina. Prinsip-prinsip Feng shui yang berorientasi pada lingkungan
ini menjadi dasar pemikiran Cina yang sampai sekarang masih kuat dipegang dan
bahkan sekarang makin berkembang ke luar budaya Cina. Budaya Cina tidak lepas
dari kepercayaan orang Cina tentang Feng Shui sebagai seni hidup dalam
keharmonisan dengan alam sehingga seseorang mendapatkan paling banyak
keuntungan, ketenangan, dan kemakmuran dari keseimbangan yang sempurna dengan
alam.
Feng Shui adalah semua tindakan untuk menangkap
serta menciptakan Chi dan memasukkannya ke tempat tinggal dan tempat kerja
(Lilian Too, 1995: 3 Diyakini Feng Shui menjanjikan kehidupan yang berlimpah
bagi mereka yang mengikuti prinsip dan aturannya ketika membangun rumah,
merancang kota, tempat kerja dan mengubur keluarga yang meninggal. Feng shui
ini telah dipraktekkan sejak dinasti Tang. Ahli seni yang paling kuno adalah
Yang Yun Sang, penasehat istana Kaisar Hi Tsang, yang diakui sebagai Penemu Feng Shui dan
mulai dicatat pada 888 sebelum masehi (Lilian Too, 2002: 2).
Secara harfiah, feng shui berarti angin dan air. Ide
dasarnya adalah penempatan posisi yang baik (rumah, tempat usaha, dan tempat
tidur, bahkan kuburan) akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan,
kekayaan dan kebahagiaan. Secara filosofis,
feng shui adalah angin yang tidak dapat kamu mengerti dan air yang tidak dapat
kamu genggam. Orang akan melakukan berbagai upaya penyesuaian untuk mendapatkan
keharmonisan yang diinginkan agar pengaruh negatif dan nasib buruk tidak
menimpa seseorang. Faktor-faktor terpenting yang harus dipertimbangkan adalah
bentuk bukit dan lembah (bangunan gedung sekitar yang diumpamakan bukit dan
lembah), arah aliran air dan sungai (termasuk juga arah jalur jalan raya),
akibat yang ditimbulkan angin (feng) dan air (air), begitu juga bentuk dan
tinggi bangunan.
Unsur angin dan air secara bersama-sama merupakan
kekuatan unsur alam yang mengalir dan mempengaruhi permukaan bumi. Feng shui
mengakui bahwa permukaan tanah diliputi oleh angin dan air. Feng shui
menekankan bahwa manusia perlu hidup dalam keselarasan dengan angin dan air di
tanah, jika kita menginginkan unsur ini menciptakan aliran energi positif yang
menyebabkan kita mendapat keuntungan.
Di sini kita menembus budaya Cina yang khas dari
penggunaan simbol, kepercayaan, dan astrologi Cina yang meliputi seluruh
spektrum ketertarikan orang Cina terhadap hubungan antara manusia dan alam
semesta yang menekankan kebutuhan mendesak akan keseimbangan dan keselarasan.
Konsep yang hampir sama dengan konsep budaya bangsa Indonesia.
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya
Cina yaitu:
1. Chi (napas kosmis),
Chi adalah energi, daya hidup yang membantu
keberadaan manusia. Chi tercipta di alam oleh air yang mengalir dengan lembut
atau oleh bentuk gunung dan oleh bentuk simetri dari sekelilingnya. Chi kosmis
dapat diciptakan dan dikumpulkan sehingga diyakini bisa memberi pengaruh baik
pada nasib seseorang. Chi kosmis adalah sumber ketenangan dan kemakmuran,
kekayaan yang berlimpah, kehormatan dan kesehatan yang baik. Chi tidak boleh berhamburan atau tertiup.
Jika hal itu terjadi tak akan baik nasibnya. Chi terbawa angin dan menyebar
sehingga tempay yang berangin dianggap tidak menguntungkan. Sebaliknya Chi yang
ada di tempat yang dikelilingi air tidak akan berhamburan sehingga tetap
berkumpul dan dianggap sebagai lokasi yang menguntungkan. Jenis air harus
diperhitungkan. Aliran air yang deras atau yang lurus dapat menghanyutkan Chi
sehingga perlu dihindari. Inti keyakinannya adalah menjebak energi Chi yang
mengalir melewati suatu tempat dan mengumpulkannya tanpa membiarkan energi itu
berhenti.
Teorinya adalah mencari lokasi yang tidak terletak
di bukit atau daerah vertikal lurus. Lokasi yang ideal adalah yang terlindung
dari angin yang kers dan ada aliran air dan sungai yang berkelok dan
lambat.
2. Lima unsur
: logam, air, kayu, api dan tanah.
Dalam budaya
Cina, ada lima unsur utama yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Semua
perhitungan Cina, termasuk waktu, tahun, dan tanggal kelahiran dikelompokkan ke
dalam salah satu unsur ini. Kelima unsur ini juga diasosiasikan dengan warna,
musim, arah mata angin dan planet.
-
API berwarna merah,
musim panas dan arah selatan
-
AIR dianggap berwarna hitam, musim dingin dan
arah utara.
-
KAYU berwarna hijau dan arah timur.
-
LOGAM berwarna putih atau keemasan dan arah
barat.
-
TANAH berwarna kuning
dan arah pusat.
3. I-Ching
I Ching adalah naskah kuno yang menjadi dasar
peradaban, yang menekankan hubungan antara nasib manusia dan alam, memberikan
pandangan mengenai Alam Semesta sebagai satu kesatuan yang senantiasa berada
dalam aliran konstan yaitu perubahan. I Ching adalah sumber pemikiran dan
perilaku semua orang Cina. Iching terdiri dari 64 heksagram, yang masing-masing
berisi kombinasi garis putus dan garis utuh yang mewakili tenaga kutub alam
semesta. Yang bersifat positif (garis utuh) dan Yin bersifat negatif (garis
putus).
Masing-masing trigram menggambarkan arah, elemen,
binatang dan lain-lain. Trigram ini dikombinasikan untuk membentuk 64
heksagram. Makna kombinasi menyusun sistem peramalan yang mendetail.
4.
Tahun
kelahiran
Orang Cina biasa menggunakan simbol binatang untuk
menggambarkan sifat dan tahun kelahiran seseorang. Ada 12 nama binatang yang
digunakan untuk menggamabarkan tahun kelahiran. Berikut ini adalah tabel tahun
kelahiran dan unsur yang dimiliki oleh oarng yang terlahir pada tahun tertentu.
5.
Yin-yang
(konsep keselarasan dan keseimbangan)
Semua tradisi dan kepercayaan Cina didasarkan
prinsip dualisme, yang begitu luas dibahas dalam I Ching. Yin dan Yang adalah
prinsip negatif dan positif yang menguasai alam semesta dan kehidupannya. Yin
dan yang digambarkan dengan lambang seperti sebuah telur dengan warna hitam dan
putih yang terpisah. Yin dan Yang bersama-sama melambangkan keselarasan yang
sempurna. Prinsipnya adalah keseimbangan antara dua kekuatan itu haru seimbang.
Terlalu banyak salah satu unsur dapat berakibat buruk.
Orang harus terus menerus mewaspadai perubahan
lingkungan yang mempengaruhi keseimbangan dan harus selalu menyelaraskan.
YIN Gelap, pasif, wanita, bulan, dingin, lembut,
ganjil, negatif, diam
YANG Terang, aktif, pria, matahari, panas, keras,
genap, positif, gerak
Yin dan yang saling melengkapi, saling tergantung
yang bersama-sama membentuk kekuatan. Yin dan Yang terus berinteraksi dan
membuat perubahan. Musim panas memberi jalan bagi musim dingin, malam mengikuti
siang, bulan mengikuti matahari, gelap mengikuti terang dan seterusnya.
6.
Pa
kua
Berbentuk segi delapan yang menggambarkan empat
titik mata angin utama dan empat titik tambahan. Menurut mata angin Cina, titik
selatan diletakkan di bagian atas. Utara di bawah, timur di kiri dan Barat di
kanan. Lambang Pa Kua berasal dari Delapan Trigram I Ching yang diletakkan di
sekitar sisi lambang itu. Bentuk Pa Kua memainkan peranan penting dalam praktek
Feng shui karena merupakan salah satu pemecahan paling penting yang digunakan
para praktisi untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam rumah atau
lokasi. (WongSeng Tian, 2004, Lilian Too, 1994)
7. Tahayul dan Simbolisme.
Feng shui berkaitan erat dengan kepercayaan akan
takhayul dan lambang yang menjadi karakter orang Cina. Di kalangan masyarakat
Cina, ada beberapa kepercayaan takhayul yang mengelilingi naga. Pada intinya,
naga dipercayai membawa kemakmuran dan kekayaan ketika naga itu sedang
bersenang hati, seperti ketika naga langit membawa kehidupan dengan menurunkan
hujan sehingga tanaman dapat tumbuh dan panen berhasil. Atau sebaliknya membawa
bencana dan kematian. Mereka menggunakan
benda-benda takhayul yang menyimbolkan permohonan seperti patung katak yang
menggigit uang logam yang diletakkan di meja atau dekat kotak uang sebagai
simbol permohonan rejeki yang melimpah.
Mereka menggunakan cermin dekat makanan atau dekat
uang supaya terlihat berlipat ganda sehingga diharapkan uang dan rejeki yang
bertambah. Mereka menggunakan mainan kucing yang melampai-lampaikan tangan
sebagai simbol menarik pembeli agar memasuki toko dan membeli barangnya. Hal
lain yang menjadi ciri budaya orang Cina adalah penghormatan pada leluhur,
penghargaan yang lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sehingga ada upacara pada hari Cing Bing untuk menghormati leluhur. Namun
nampaknya dengan beralihnya sebagian besar orang Cina ke agama besar yang ada,
penghormatan semacam ini mulai berkurang.
B.
Konsep
budaya Jawa
Ada
beberapa konsep budaya Jawa yang akan diuraikan di bawah ini:
1.
Religi
Jawa : anismisme, dinamisme, sinkretisme dan agama Jawa
Masyarakat Jawa
telah mengenal Tuhan dengan segala konsep dan bentuknya yang khas. Pengenalan
Tuhan yang tertua dilakukan dengan pemujaan pada roh dan kekuatan benda-benda.
Pemujaan pada roh disebut animisme dan pemujaan pada kekuatan benda-benda
disebut dinamisme. Religi semacam ini masih berlangsung dan mewarnai kehidupan
sampai sekarang, yaitu dengan adanya ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji
adalah bentuk penyelarasan dengan lingkungan metafisik, agar kekuatan
adikodrati itu selaras. Wujud nyata dalam pemujaan keduanya adalah melalui permohonan
berkah. Roh dan benda-benda (keris, batu akik, jenis tanaman tertentu) di
sekitar manusia dianggap memiliki kekuatan sakti dan dapat mendatangkan
kebahagiaan atau penderitaan bagi manusia. Misalnya keris peninggalan orang tua
yang diperuntukkan untuk petani tidak cocok untuk orang yang menduduki jabatan
tertentu karena dipercaya dapat menurunkan kedudukan orang tersebut. Begitu
juga sebaliknya keris untuk pejabat tidak boleh dipegang oleh petani karena
akan mendatangkan penyakit. Kepercayaan adanya orang sakti dan prewangan
dipandang sebagai bantuan roh leluhur atau nenek moyang. Representasi pemujaan roh dapat dilihat dari
tradisi budaya selamatan orang meninggal.
Ada penyatuan ajaran antara animisme,
dinamisme yang berbaur dengan agama Hindu, Budha bahkan dengan Kristen dan
Islam sehingga terjadilah sinkretisme. Wujud sinkretisme yang paling menonjol
adalah perilaku mistik kejawen. Tampaknya mistik kejawen menjadi sentral
sinkretisme masa lalu sampai sekarang (Endraswara, 2003: 63). Di Jawa konsep
mistik lebih dikenal dengan paham panteisme atau manunggaling kawula dengan
gusti. (anda bisa mengkaji lebih lanjut dalam karya Zoetmulder, P.J. 1991.
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa.
Jakarta : PT Gramedia). Karena itu Islam di Jawa ada penggolongan Islam putihan
(berasal dari muti’an yang artinya patuh) dan Islam abangan (berasal dari
aba’an artinya membangkang). Islam putih bisa diartikan Islam yang sesuai
dengan ajaran asli Arab yang biasanya diajarkan di pondok pesantren dan Islam
abangan (kejawen) yang lebih banyak
diwarnai sinkretisme.
2.
Slametan
(Selamatan)
Slametan atau selamatan adalah sebuah ritual
yang dimaksudkan untuk memohon keselamatan (Endrasana, 2003: 7). Selamatan yang diadakan secara turun temurun
dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan lahir dan batin dari gangguan makhluk
halus (Triyoga, 1991: 83). Fungsi utama dari selamatan yang diadakan adalah
untuk menetralisir bencana yang datangnya dari luar kekuasaan manusia. Dalam
selamatan, selain diucapkan doa dan matera, harus disediakan sesaji makanan,
bunga dan kemenyan. Sesaji kemenyan dan bunga adalah makanan utama makhluk
halus yang harus ada pada setiap selamatan karena benda-benda tersebut
merupakan syarat utama agar perdamaian dapat diterima makhluk halus (Triyoga,
1991: 83). Dengan memberi sedekah, diharapkan makhluk halus itu mau membantu
dan tidak menganggu manusia.
Dalam tradisi
Jawa muncul berbagai macam selamatan. Dari selamatan sebelum kelahiran sang
bayi, lahir, perkawinan hingga kematian sangat mewarnai budaya Jawa. Ada
tradisi peringatan dalam kandungan : neloni (tiga bulan peringatan bayi dalam
kandungan), mitoni (tujuh bulan karena dianggap pada usia tujuh bulan ini roh
mulai lengkap). Ada tradisi dalam perkawinan: midodareni (tradisi yang
dilakukan pada malam hari menjelang perkawinan), budaya upacara perkawinan yang
sarat dengan aturan dan simbol. Upacara kematian: slametan surtanah (geblag)
yang dilakukan pada hari meninggalnya seseorang, nelung dina (tiga hari), pitung
dina (tujuh hari), patang puluh (empat puluh), nyatus (seratus hari), mendhak
pisan (satu tahun), mendhak pindho (dua tahun) dan nyewu (seribu hari).
Sedangkan
tradisi yang berkaitan dengan benda “sakti” biasanya dilakukan pembersihan
benda tersebut setiap tahun sekali, pada bulan Sura (Muharram) dengan cara
dicuci. Tindakan lain adalah pemerian sesaji pada rumah, pohon besar,
perempatan jalan dan tempat yang dianggap angker lainnya. Dalam budaya mereka,
penunggu tersebut harus diberi sesaji agar mau membantu hidup manusia atau
paling tidak, tidak menganggu kehidupan mereka. Persyaratan selamatan
bervariasi tergantung jenis selamatannya. Mulai dari menyediakan jenang warna-
warni (merah, kuning, putih, hitam dan abu-abu), hingga menyembelih kepala kerbau.
Slametan menjadi sebuah permohonan simbolik (Endrasana, 2003: 10). Lebih dari
itu Slametan adalah manifestasi kultur budaya asli (Endrasana, 2003: 10).
3.
Primbon,
suluk, dan wirid
Primbon, suluk
dan wirid merupakan karya sastra yang banyak memuat ajaran sinkretisme. Primbon
antara lain memuat petung (perhitungan) untuk menentukan perkawinan, mengetahui
watak manusia (watak bayi lair), pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya.
Suluk dan wirid berisi wejangan atau petuah yang diyakini dari ajaran para wali
songo (wali sembilan) yang memuat ajaran Islam Isoteris. Karya sastra itu
antara lain seperti Serat Centhini, serat Cebolek, serat wirid Hidayat Jati,
Babat Tanah Jawa dan sebagainya. Bizawie mengemukakan terjadinya perlawanan
kultural agama asli Jawa (Endrasana, 2003: 64). Dengan munculnya Serat Cebolek,
telah memunculkan sinkretisme Islam Jawa yang luar biasa. Di dalamnya ada
mistikisme Jawa dan neo tasawuf. Kehadiran tokoh Syeh Ahmad al-Mutamakkin
dianggap sebagai pembangkang terhadap ajaran syariah dan dianggap sebagai
pelanjut ajaran syeh Siti Jenar. Syeh Siti Jenar ini merupakan tokoh sentral di
luar wali songo yang dianggap mengabaikan ajaran syariah (hukum) dan
mengajarkan makrifah (pengetahuan tentang Allah) pada orang belum banyak mengenal
aturan hukum dalam Islam yang akhirnya harus menjalani hukuman mati.
4.
Tata
krama
Tata krama adalah adab sopan santun Jawa dalam
berbahasa, bersikap dan bertingkah laku yang sangat dijunjung tinggi dan
menjadi ciri budaya Jawa. Dalam berbahasa mereka membedakan dengan kategori
ngoko, kromo madyo dan krama inggil. Misalnya untuk kata ”makan” dalam bahasa
Jawa ada tingkatan ”madhang”, atau ”mangan” untuk ngoko, tingkatan ”nedho”
untuk kromo madyo dan ”dhahar” untuk kromo inggil. Ngoko untuk orang yang sama
kedudukannya dengan dirinya atau lebih rendah (misalnya sesama teman atau
kepada anak atau adik). Kromo madyo untuk membahasakan sedikit di atas dirinya
(misalnya mas nembe/taksih nedho = kakak laki-laki sedang makan). Kromo inggil
ditujukan kepada orang yang lebih tua atau lebih atas tingkatan sosialnya.
Misalnya Ibu taksih dhahar.
Jadi kalau kita simpulkan, hal-hal yang
terkait dengan sub a (religi), b (slametan), dan c (primbon, suluk dan wirid )
di atas lebih mengarah pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan yang d. adalah
sisi horisontal. Artinya sisi vertikal berkaitan dengan orientasi Ketuhanan
atau penyesuaian dengan nilai- nilai Ketuhanan atau roh) sedangkan sisi
horisontal berkaitan dengan sisi hubungan antara manusia (yang masih hidup).
Namun pembedaan itu hanya bersifat rasional ilmiah saja, sedangkan dalam
kenyataannya sulit dipisahkan. Misalnya, ada tata krama yang kuat di daerah
Imogiri (makan raja-raja Jawa) yang harus dipatuhi oleh seorang peziarah.
Mereka harus menggunakan pakaian adat tertentu untuk berziarah pada makan
raja-raja Surakarta dan berganti pakaian bila berpindah ke makam raja
Yogyakarta. Padahal jaraknya hanya beberapa meter saja. (Baca karya Woodward,
1999. Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. LkiS. Yogayakarta).
5.
Petung
Petung atau
perhitungan menduduki tempat yang sangat strategis dan urgen dalam budaya Jawa.
Karena setiap kegiatan apa pun orang Jawa tidak bisa meninggalkan tradisi
menggunakan perhitungan ini. Misalnya untuk mengetahui watak seseorang,
menentukan hari perkawinan atau menentukan arah rumah (mirip budaya Cina) harus
memperhitungkan hari kelahiran dan saat (waktu) yang tepat.
Hari kelahiran
dihitung: minggu = 5, senin = 4, selasa = 3, rabu = 7. kamis = 8, jumat = 6,
sabtu = 9. Sedangkan pasaran dihitung: paing = 9, pon = 7, wage = 4, kliwon =
8, legi = 5. Seseorang yang lahir pasti bisa ditentukan atas kombinasi hari dan
pasaran. Misalnya Jumat Paing berarti = 6 + 9 = 15. Jumlah yang 15 itu dapat
diketahui watak, perkawinan, arah rumahnya dan seterusnya.
Perhitungan Jawa Kita di sini sekedar mengetahui
sekilas keyakinan dasar orang Jawa sehingga kita bisa memahami mengapa orang
Jawa tertentu tidak sembarangan menentukan hari perkawinan atau bahkan menolak
calon menantu karena perhitungan di atas yang tidak cocok.
6.
Makanan
Nama dan jenis
makanan dapat menjadi ciri penanda budaya suatu daerah termasuk budaya Jawa. Di
dalam masakan dan makanan Jawa ada yang bernama : rawon, gudeg, lontong balap,
urap-urap, gado-gado, sop buntut dan sebagainya.
7.
Falsafah
hidup
Selain hal-hal
yang disebut di atas, falsafah hidup orang Jawa dapat menjadi ciri penanda khas
tradisi budaya Jawa. Falsafah ini menjadi pedoman hidup yang diikuti oleh oang
Jawa generasi dulu namun sekarang telah banyak ditinggalkan karena kurangnya
pemahaman dan kekurang mampuan dalam menafsirkan makna hakikinya. Di samping
itu munculnya nilai-nilai dari luar yang bersifat konsumeris dan materialis
membuat nilai-nilai budaya yang adiluhung (mulia) ini mulai ditinggalkan
generasi muda kita. Oleh karena itu dalam Pendidikan Multiklutural perlulah
memahami dan memaknai kembali berbagai falsafah hidup budaya Jawa ini. Misalnya
ajining diri soko lathi, ajining awak soko tumindak, ajining sariro soko busono
(kehormatan diri berasal dari tutur kata yang baik (lathi), dari perbuatan baik
yang kita lakukan (tumindak) dan dari pakaian yang kita sandang (busono),
ngundhuh wohing pakarti (menuai buah dari yang ditanam = hukum sebab akibat),
senajan mung sedumuk ning bathuk senajan mung senyari ning bumi, dibelani
tohing pati (walaupun hanya satu sentuhan jari tapi dahi, walaupun sejengkal
namun tanah, akan diperjuangkan dengan pertaruhan nyawa = harga diri),
alon-alon waton kelakon (biar lambat asal selamat/bisa terjadi = yang merupakan
pedoman yang lebih mengutamakan keselamatan), menang tanpa ngasorake
(mengalahkan musuh tanpa merendahkan harga diri musuh), digdaya tanpa aji
(sakti tanpa memiliki aji-aji kesaktian = seseorang yang dapat menjaga
kewibawaan). Contoh-contoh di atas merupakan kearifan budaya yang ada pada
budaya Jawa.
8.
Produk
budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan)
Berbagai produk budaya
seperti keris, wayang, rumah, pakaian dan peralatan lainnya dapat menjadi ciri
penanda yang ada pada budaya Jawa. Benda-benda ini hanya bisa dimengerti kalau
kita memahami lebih dalam makna yang terdapat pada simbol-simbol yang terdapat
di dalamnya.
Dalam budaya Jawa tradisional, keris bukan sekedar
senjata yang unik bentuknya, tetapi lebih merupakan kelengkapan budaya
spiritual. Ada anggapan di kalangan Jawa tradisional, seseorang baru bisa
dianggap utuh dan lengkap sebagai lelaki sejati jika ia sudah memiliki lima
unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila. Curiga, berarti keris,
turangga artinya kuda atau kendaraan (motor atau mobil), wisma adalah rumah
untuk tempat tinggal, wanita berarti isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah
burung arti simbolik dari keindahan.
Keris, makna simboliknya adalah kehormatan, kedewasaan,
dan keperkasaan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu
melindungi diri, keluarga atau membela bangsa dan negara. Pada zaman dulu, penghargaan paling tinggi
bukan harta benda berupa emas permata, melainkan keris. Pada perkembangannya,
keris menjadi simbol kepangkatan. Keris Raja berbeda dengan bawahannya. Berbeda
dari bahan keris, detil-detil perhiasan dan perabot kelengkapannya. Tingkat
kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa dilihat dari warangka (sarung) yang
membungkus bilah keris. Warangka keris Raja, berbeda dengan warangka
bawahannya.
Salah satu
keunikan keris adalah kekuatannya pada unsur-unsur yang ada pada keris.
Dari ukiran atau pegangan keris pun, pada masa lalu orang bisa menilik derajat
dan kepangkatan. Varian ukiran keris Jawa pun, seperti halnya warangka, ada
berbagai macam varian. Di lingkungan keraton Surakarta, ukiran tunggak semi
gaya Paku Buwono hanya boleh dipakai oleh Raja. Pendhok (selongsong logam pada
bungkus bilah) dengan warna kemalo (sejenis cat tradisional berwarna merah,
hijau, coklat dan hitam), dulu dimaksudkan untuk membedakan derajat dan
kepangkatan penyandangnya. Warna merah untuk Raja dan kerabatnya, atau
bangsawan. Hijau, untuk para mantri (menteri, perwira pembantu Raja). Coklat,
untuk para bekel atau administratur menengah kebawah. Sedangkan pendhok hitam,
untuk para abdi dalem, atau rakyat jelata.
Selain tanda penghargaan, pada masa lalu juga
dimaksudkan untuk menjadi peringatan waktu dan tahun Jawa. Dalam khasanah budaya Jawa tradisional,
disebut sebagai candra sengkala atau sengkalan. Gambar atau wujud benda,
binatang, tumbuhan yang dikinatahkan juga bisa diartikan sebagai kronogram
untuk menunjuk angka tahun.
Keris juga dipakai sebagai simbol identitas diri
(Brahmana atau untuk Raja). Keris juga bisa berfungsi sebagai pertanda atribut
utusan Raja. Apabila seseorang mendapat tugas dari Raja, Raja meminjamkan
sebuah keris pusaka milik sang Raja yang ‘bobot spiritual’nya sesuai dengan
bobot tugas yang disandangnya. Dalam
kehidupan sehari-hari, keris berfungsi seremonial, menjadi lambang
persaudaraan, persahabatan, perkawinan. Salah satu simbol persaudaraan atau
persahabatan, dulu biasa ditandai dengan tukar-menukar keris. Bahkan akhir-
akhir ini Presiden RI menggunakan kersi sebagai cendera mata untuk diberikan
kepada Presiden/kepala negara tetangga sebagai simbol persahabatan negara
Indonesia dengan negara lain.
Keris sudah menjadi identitas nasional. Selain makna-makna duniawi di atas, keris
dalam kehidupan Jawa tradisional juga memiliki makna spiritual yaitu sebagai
manifestasi pandangan hidup, wasiat atau pusaka. Dalam lingkup spiritual, keris
merupakan azimat, medium komunikasi serta tempat bersemayamnya roh atau “yoni”
(ingat animisme dan dinamismisme). Sampai saat ini orang modern masih banyak
yang mempraktekkannya.
C.
Konsep
budaya Bali
1. Dharma
Dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau
kewajiban dan hukum. Yaitu suatu jalan yang halus dan sejuk yang dapat melindungi
dan menjaga orang yang mengikuti dan menjauhkan bencana sehingga menjadi orang
yang gembira, tenteram dan bahagia. Mereka melaksanakan dharma itu dalam
perilaku kesehariannya. Dalam keseharian mereka tidak akan pernah lupa
melakukan upacara ritual yang menjadi kewajibannya. Sehingga khusus untuk pulau
Bali saja dibutuhkan berton-ton bunga setiap hari untuk kebutuhan
pemujaan.
2. Tri
hita karana
konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan
kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi : - keselarasan hubungan manusia dengan
Tuhan - keselarasan hubungan manusia
dengan sesama manusia - keselarasan hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Yang pertama disebut hubungan Niskala (tidak nyata, rohani), yang kedua dan
ketiga disebut sekala (nyata, duniawi). Konsep sekala diwujudkan dalam
pengertian Tri kaya (tiga aspek) yaitu pikiran (manah), perkataan (wak) dan
perbuatan (kaya). Prinsip keselarasan masyarakat Bali yang dilandasi ajaran
Hindu Bali ini mirip dengan keselarasan dari dari budaya Cina dan Jawa. Jadi
secara konseptual, keselarasan, keserasian dan kesimbangan merupakan budaya
khas yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Seandainya prinsip ini benar-benr
dihayati dan diamalkan maka bencana di Sidoarjo oleh Lapindo Brantas ini tidak
akan terjadi. Karena pengeboran ini sama sekali tidak melihat keselarasan di
atas.
3. Rwa
Bhineda
Konsep dualistis yang mengekspresikan dua
kategori yang berlawanan dalam hidup (positif dan negatif, baik dan
buruk). Segala sesuatu pasti ada
kelebihan dan ada kekurangan. Ada bahagia dan ada derita. Tidak ada hidup yang
tidak diakhiri kematian. Prinsip rwa bhineda ini sama dengan prinsip Yin-Yang
dari budaya Cina.
4. Karmaphala
Satu dari lima sistem kepercayaan agama Hindu
yaitu - percaya adanya Tuhan, - percaya adanya Atman (roh), - percaya adanya Punarbawa
(reinkarnasi), - percaya adanya roh
leluhur dan - percaya adanya karmaphala
(karma = perbuatan, phala = buah)
Karmaphala adalah hasil perbuatan seseorang. Ala
gawe ala nemu, ayu gawe ayu nemu (bila melakukan hal yang tidak benar maka
kesengsaraan yang akan diperoleh, sebaliknya bila melakukan hal yang benar maka
kebahagiaan yang akan didapat). Karmaphala adalah sesuatu sebab akan
menghasilkan akibat sehingga sering disebut hukum karma. Oleh karena itu berhati-hatilah
dalam berbuat. Setalah kita kaji lebih dalam, ternyata prinsip ini sama dengan
prinsip dari budaya Jawa Ngundhuh wohing pakarti (Budiasa, 1997).
D.
Selayang
pandang berbagai konsep budaya daerah lain
Ada
tradisi budaya di daerah Maluku yang mengorbankan nyawa orang untuk pelantikan
seorang kepala desa tertentu. Namun budaya ini nampaknya segera dihilangkan
karena tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Ada satu suku
di Kalimantan yang menghukum secara tegas perselingkuhan dengan cara mengikat
pasangan itu dan menenggelamkannya dengan memberi pemberat dari batu. Di
Banyuwangi dan sebagian daerah lain, ada tradisi kawin lari untuk menghindari
kewajiban adat yang mungkin sulit dipenuhi oleh mempelai laki-laki. Di pulau
Nias, ada tradisi lompat batu. Seorang remaja akan memasuki batas kedewasaan
setelah dia melompati batu yang cukup tinggi. Di Papua, peperangan antar suku
baru dapat didamaikan bila korban antara pihak yang berperang itu dalam jumlah
yang seimbang. Di Tegal, Jawa Tengah, ada satu kampung yang jumlahnya tidak
lebih dari seratus orang dan bila lebih dari itu harus ada yang meninggalkan
daerah itu. Ada juga di Boyolali, seluruh penduduknya dilarang tidur di kasur
karena takut mendapat kutukan bila melanggarnya.
Di Jawa Barat ada pantangan yang disebut pamali.
Pamali tarung jeung dulur. Pamali bengkah jeung dulur (pantangan berkelahi
dengan saudara, pantangan merenggangkan persaudaraan). Jadi konflik adalah
pantangan yang jika dilanggar dapat mengakibatkan sesuatu yang buruk. Istilah
ini tergambar dalam kisah Hariang Banga dan Ciung Wanara. Keduanya putra raja
di tatar sunda. Mereka berkelahi untuk memperebutkan kerajaan Galuh Pakuan.
Terjadilah perang sehingga Hariang Banga terdesak ke timur dan sampai di suatu
sungai Pamali (Ci Pamali). Pamali artinya pantangan/tabu dalam bahasa Sunda.
Ada bentuk dari kearifan tradisional berupa pepatah silih asih, silih asah dan
silih asuh (artinya saling menyayangi, saling memberi pengalaman dan
pengetahuan dan saling membantu).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep Budaya Cina berkaitan erat dengan pandangan
hidup orang Cina yang mengutamakan nilai
kemakmuran dan kelimpahan harta,
kedamaian dan ketenteraman,
kesehatan dan umur panjang.
Ada beberapa konsep yang perlu dipahami dalam budaya
Cina yaitu :Chi yaitu energi yang dapat
diciptakan dan dikumpulkan sehingga memberi pengaruh baik pada nasib seseorang.
Lima unsur yaitu logam, air, kayu, api dan tanah. Masing- masing unsur
mempunyai siklus merusak dan siklus positif.
I-Ching atau Buku tentang Perubahan yang menekankan hubungan antara
nasib manusia dan alam sebagai satu kesatuan yang senantiasa berada dalam
aliran konstan yaitu perubahan. Tahun kelahiran yang disimbolkan binatang untuk
menggambarkan sifat dan tahun kelahiran seseorang, yaitu shio tikus, kerbau,
macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing dan babi.
Yin-yang merupakan konsep keselarasan dan keseimbangan yang didasarkan prinsip
dualisme yang saling melengkapi, saling tergantung yang bersama-sama membentuk
kekuatan. Pa kua yaitu lambang berbentuk
segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik
tambahan yang digunakan untuk melindungi diri dari pengaruh yang mengancam
rumah atau lokasi. Tahayul dan Simbolisme yang berkaitan erat dengan
kepercayaan akan takhayul dan lambang yang menjadi karakter orang Cina.
Beberapa konsep budaya Jawa adalah Religi Jawa : anismisme, dinamisme,
sinkretisme dan agama Jawa, selamatan, primbon, suluk, dan wirid yang memuat
ajaran sinkretisme, tata krama, petung untuk menentukan perkawinan, mengetahui
watak manusia, pindah rumah atau persyaratan hajat lainnya, makanan, falsafah
hidup, produk budaya (keris, rumah/wisma, wayang, pakaian, peralatan). Hal-hal
yang terkait dengan religi, slametan, primbon, suluk dan wirid lebih mengarah
pada sisi vertikal budaya Jawa, sedangkan tata krama adalah sisi
horisontal.
Konsep budaya
Bali mencakup dharma artinya kebenaran (kebajikan) atau kewajiban dan hukum,
Tri hita karana yaitu konsep keselarasan hubungan yang mendatangkan
kebahagiaan. Keselarasan hubungan tersebut meliputi keselarasan hubungan
manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya.Rwa Bhineda yaitu konsep dualistis yang mengekspresikan
dua hal yang berlawanan (positif dan negatif), dan Karmaphala adalah hasil
perbuatan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar