Sabtu, 28 Juni 2014

MODEL-MODEL WANPRESTASI DAN DOKTRIN PELAKSANAAN KONTRAK SECARA SUBSTANSIAL

Dalam hal wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum kontrak dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “doktrin pemenuhan prestasi substansial” adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melasanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Karena itu, jika telah dilaksanakan substansial performance terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak melaksanakan prestasinya.


Misalnya, jika seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer untuk mendirikan sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang kunci bagi bangunan tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dikerjakan, maka dapat dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara kunci yang tidak dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial. Untuk kontrak jual-beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
D. Pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata
Ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam hal ini pasal 1266, yang memberikan ruang yang besar bagi intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Selengkapnya pasal 1266 KUH Perdata menyebutkan : Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.Permintaan itu juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk, menurut
keadaan, atas permintaan sitergugat, memberikan sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Dengan demikian, menurut pasal 1266 KUH Perdata tersebut, dengan alasan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka pihak lainnya dalam kontrak tersebut dapat membatalkan kontrak yang bersangkutan, akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu saja, melainkan haruslah dilakukan lewat pengadilan.
Mengingat tidak ada prosedur khusus untuk pembatalan suatu kontrak oleh pengadilan, maka pembatalan tersebut harus ditempuh lewat prosedur gugatan biasa, yang sangat panjang, berbelit dan melelahkan. Sehingga campur tangan pengadilan dalam hal memutuskan kontrak, yang semula ditujukan untuk melindungi pihak yang lemah atau tidak berdosa dalam kontrak tersebut, akhirnya malahan merugikan semua pihak.
Karena itu, tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada ketentuan dalam kontrak yang mengenyampingkan berlakunya pasal 1266 tersebut, yang berarti bahwa kontrak tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan pengadilan) berdasarkan prinsip exeptio non adimpleti contractus, jika pihak lainnya melakukan wanprestasi
E. KONSTRUKSI HUKUM PEMBATALAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PERSEROAN;
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang PT (disebut "UUPT") mengenal 2 (dua) macam perubahan anggaran dasar yaitu Perubahan anggaran dasar tertentu yang memerlukan persetujuan Menteri dan berlaku sejak tanggal diterbitkannya SK Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar, yang mencakup
(a) Nama Perseroan dan atau tempat Kedudukan Perseroan;
(b) Maksud dan Tujuan serta Kegiatan UsahaPerseroan;
(c) Jangka Waktu Berdirinya Perseroan;
(d) Besarnya Modal Dasar;
(e) Pengurangan Modal Ditempatkan dan Disetor dan
(f) Status Perseroan Tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.
Perubahan anggaran dasar selain yang disebut diatas, cukup diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM RI dan mulai berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar tersebut oleh Menteri.
Pembatalan terhadap perubahan anggaran dasar baik yang memerlukan persetujuan maupun yang diberitahukan, dapat dilakukan melalui mekanisme RUPS dengan korum kehadiran dan korum putusan yang sama bagi perubahan anggaran dasar yang akan dibatalkan, sepanjang perubahan anggaran dasar tersebut belum mendapatkan persetujuan dan atau belum diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan oleh Menteri. Sebaliknya jika Perubahan anggaran dasar telah mendapatkan persetujuan Menteri atau telah diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan oleh Menteri, maka perubahan anggaran dasar tersebut telah berlaku effektif dan pembatalannya hanya dapat dilakukan melalui konstruksi hukum RUPS lagi dengan agenda (acara rapat)
perubahan anggaran dasar kembali bukan dengan Konstruksi Hukum Membatalkan
Perubahan anggaran dasar tersebut. Pembatalan hanya dapat dilakukan terhadap putusan RUPS mengenai perubahan anggaran dasar yang belum berlaku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar