Dalam hal
wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi, dalam ilmu hukum kontrak
dikenal dengan suatu doktrin yang disebut dengan “doktrin pemenuhan prestasi substansial”
adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa sungguhpun satu pihak tidak
melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi jika dia telah melasanakan
prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga
melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak
melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia disebut telah tidak
melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Karena itu, jika telah dilaksanakan substansial
performance terhadap kontrak yang bersangkutan, tidaklah berlaku lagi doktrin exceptio
non adimpleti contractus, yakni doktrin yang mengajarkan bahwa apabila satu
pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka pihak lain dapat juga tidak
melaksanakan prestasinya.
Misalnya, jika
seorang kontraktor mengikat kontrak dengan pihak bouwheer untuk mendirikan
sebuah bangunan, misalnya dia hanya tinggal memasang kunci bagi bangunan
tersebut sementara pekerjaan-pekerjaan lainnya telah selesai dikerjakan, maka
dapat dikatakan dia telah melaksanakan kontrak secara substansial. Sementara
kunci yang tidak dipasang pada bangunan tersebut bukan berarti dia telah tidak
melaksanakan kontrak secara “material” (material breach).
Akan tetapi tidak terhadap semua kontrak dapat
diterapkan doktrin pelaksanaan kontrak secara substansial. Untuk kontrak
jual-beli atau kontrak yang berhubungan dengan tanah misalnya, biasanya doktrin
pelaksanaan kontrak secara substansial tidak dapat diberlakukan.
D. Pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata
Ada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dalam hal ini pasal 1266, yang memberikan ruang yang besar bagi
intervensi pengadilan dalam hal pemutusan suatu kontrak. Selengkapnya pasal
1266 KUH Perdata menyebutkan : Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan-persetujuan yang bertimbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal yang demikian
persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.Permintaan itu juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam
perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah
leluasa untuk, menurut
keadaan, atas permintaan sitergugat, memberikan
sesuatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana
namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.
Dengan demikian, menurut pasal 1266 KUH Perdata
tersebut, dengan alasan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, maka
pihak lainnya dalam kontrak tersebut dapat membatalkan kontrak yang
bersangkutan, akan tetapi pembatalan tersebut tidak boleh dilakukan begitu
saja, melainkan haruslah dilakukan lewat pengadilan.
Mengingat tidak ada prosedur khusus untuk
pembatalan suatu kontrak oleh pengadilan, maka pembatalan tersebut harus ditempuh
lewat prosedur gugatan biasa, yang sangat panjang, berbelit dan melelahkan.
Sehingga campur tangan pengadilan dalam hal memutuskan kontrak, yang semula
ditujukan untuk melindungi pihak yang lemah atau tidak berdosa dalam kontrak
tersebut, akhirnya malahan merugikan semua pihak.
Karena itu,
tidak mengherankan jika dalam praktek sering ada ketentuan dalam kontrak yang
mengenyampingkan berlakunya pasal 1266 tersebut, yang berarti bahwa kontrak
tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak (tanpa campur tangan
pengadilan) berdasarkan prinsip exeptio non adimpleti contractus, jika
pihak lainnya melakukan wanprestasi
E. KONSTRUKSI HUKUM PEMBATALAN PERUBAHAN
ANGGARAN DASAR PERSEROAN;
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang PT (disebut "UUPT") mengenal 2 (dua) macam perubahan anggaran dasar yaitu Perubahan anggaran dasar tertentu yang memerlukan persetujuan Menteri dan berlaku sejak tanggal diterbitkannya SK Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar, yang mencakup
UU Nomor 40 tahun 2007 tentang PT (disebut "UUPT") mengenal 2 (dua) macam perubahan anggaran dasar yaitu Perubahan anggaran dasar tertentu yang memerlukan persetujuan Menteri dan berlaku sejak tanggal diterbitkannya SK Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar, yang mencakup
(a) Nama Perseroan dan atau tempat Kedudukan
Perseroan;
(b) Maksud dan Tujuan serta Kegiatan
UsahaPerseroan;
(c) Jangka Waktu Berdirinya Perseroan;
(d) Besarnya Modal Dasar;
(e) Pengurangan Modal Ditempatkan dan Disetor
dan
(f) Status Perseroan Tertutup menjadi Perseroan
Terbuka atau sebaliknya.
Perubahan anggaran dasar selain yang disebut
diatas, cukup diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM RI dan mulai berlaku
sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran
dasar tersebut oleh Menteri.
Pembatalan terhadap
perubahan anggaran dasar baik yang memerlukan persetujuan maupun yang
diberitahukan, dapat dilakukan melalui mekanisme RUPS dengan korum kehadiran
dan korum putusan yang sama bagi perubahan anggaran dasar yang akan dibatalkan,
sepanjang perubahan anggaran dasar tersebut belum mendapatkan persetujuan dan
atau belum diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan oleh Menteri.
Sebaliknya jika Perubahan anggaran dasar telah mendapatkan persetujuan Menteri
atau telah diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan oleh Menteri, maka
perubahan anggaran dasar tersebut telah berlaku effektif dan pembatalannya
hanya dapat dilakukan melalui konstruksi hukum RUPS lagi dengan agenda (acara
rapat)
perubahan anggaran dasar kembali bukan dengan Konstruksi Hukum Membatalkan
Perubahan anggaran dasar tersebut. Pembatalan hanya dapat dilakukan terhadap putusan RUPS mengenai perubahan anggaran dasar yang belum berlaku.
perubahan anggaran dasar kembali bukan dengan Konstruksi Hukum Membatalkan
Perubahan anggaran dasar tersebut. Pembatalan hanya dapat dilakukan terhadap putusan RUPS mengenai perubahan anggaran dasar yang belum berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar