Teori Behavioristik Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa
belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu.
Teori kaum behavoris lebih dikenal
dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil
belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh
lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau
jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana
perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori
belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep
”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan
unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan
lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya
latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan
dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori belajar ini sering
disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh
ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan
demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara
reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini
berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan
tingkahl laku adalah hasilJelasnya, aliran ini memandang bahwa hakekat belajar
adalah perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R
(stimulus-respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu
terhadap apa yang datang dari luar individu.
Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku dari stimulus yang
diterimanya (Muhaimin, 2002: 196). Berdasarkan hal tersebut diatas, teori
behavioristik juga sering disebut dengan teori stimulus-respons belajar.
Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme,
pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons
(operant conditioning) dan Social Learning. a. Teori Thorndike Koneksionisme
atau Bond-Psychology (1874-1949), Thorndike adalah salah seorang tokoh dalam
lapangan psikologi pendidikan yang besar pengaruhnya. Dalam tulisannya yang
mula-mula sekali Thorndike berpendapat, bahwa yang menjadi dasar belajar itu
ialah asosiasi antara kesan pancaindera (sense impresion) dengan implus untuk
bertindak (impulse to action). Menurut teori ini belajar adalah proses
pembentukan asosiasi antara yang sudah diketahui dengan yang baru. Proses
belajar mengikuti tiga hokum, yaitu hokum kesiapan, latiahn, dan hokum efek.
Hukum kesiapan (law of readness), merupakan aktivitas belajar yang dapat
langsung efektif dan efisien bila subyek telah memiliki kesiapan belajar.
Hukum latihan (law of exercise),
merupakan koneksi antara kondisi dan tindakan yang akan menjadi lebih kuat bila
ada latihan. Hukum Efek (law of effect ), menyatakan bahwa aktifitas belajar
yang memberi efek menyenangkan akan terjadi sebaliknya. Ketiga hukum tersebut,
dikenal adanya transfer training. Konsep transfer training bertolak dari teori
unsur identik yang menyatakan bahwa hasil latihan pada sesuatu kecakapan dapat
di transfer pada kecakapan lain bila banyak mengandung unsur identik. Adapun
hukum-hukum yang dikemukakan oleh Thorndike itu, lebih dilengkapi dengan
prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1. Siswa harus mampu membuat berbagai
jawaban terhadap stimulus.
2. . Belajar dibimbing/diarahkan ke
suatu tingkat yang penting melalui sikap siswa itu sendiri.
3. Suatu jawaban yang telah dipelajari dengan
baik dapat digunakan juga terhadap stimulus yang lain (bukan stimulus yang
semula), yang oleh Thorndike disebut dengan “perubahan asosiatif”.
4. . Jawaban-jawaban terhadap
situasi-situasi baru dapat dibuat apabila siswa melihat adanya analog dengan
situasi-situasi terdahulu.
5. . Siswa dapat mereaksi secara selektif
terhadap faktor-faktor yang esensial di dalam situasi itu.
Guru memiliki peran dalam mengontrol
dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang
diinginkan. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu
sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya
sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning. B. Penerapan Teori
Behavioristik Dalam Pembelajaran Perkembangan teori belajar cukup pesat.
Berikut ini adalah teori belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran.
Teori Behaviorisme Belajar adalah
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non
konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori
belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti
tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Aplikasi teori belajar behaviorisme
menurut tokoh-tokoh antara lain :
a) Aplikasi Teori Pavlov Teori
classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan
cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. Dengan adanya
stimulus berupa hadiah (reward) yang diberikan kepada peserta didik dapat
menumbuhkan motivasi belajar siswa, sehingga siswa lebih tertarik pada guru,
artinya tidak membenci atau bersikap acuh tak acuh , tertarik pada mata pelajaran
yang diajarkan, mempunyai antusias yang tinggi serta mengendalikan perhatianya
terutama pada guru, selalu mengingat pelajaran dan mempelajarinya kembali, dan
selalu terkontrol oleh lingkungan. Contohnya yaitu pada awal tatap muka antara
guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap
yang ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid
merasa terkesan dengan sikap yang ditunjukkan gurunya. Sebagai contoh untuk
menambah kelekatan dengan pasangan, Jika anda mempunyai pasangan yang “sangat
suka (UCR)” dengan coklat (UCS). Disetiap anda bertemu (CS) dengan kekasih anda
maka berikanlah sebuah coklat untuk kekasih anda, secara otonom dia akan sangat
suka dengan coklat pemberian anda. Berdasarkan teori, ketika hal itu dilakukan
secara berulang-ulang, selanjutnya cukup dengan bertemu dengan anda tanpa
memberikan coklat, maka secara otonom pasangan anda akan sangat suka (CR)
dengan anda, hal ini dapat terjadi karena pembentukan perilaku antara UCS, CS,
UCR, dan CR seperti ekperimen yang telah dilakukan oleh Pavlov. Belajar adalah
perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non
konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori
belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti
tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Adapun contoh aplikasi teori belajar
behaviorisme menurut Pavlov adalah pada awal tatap muka antara guru dan murid
dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan
memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan
dengan sikap yang ditunjukkan gurunya. Pada awal masuk kelas, guru memberikan
kenyamanan pada siswa sehingga siswa merasa aman untuk melanjutkan
pembelajaran. Sebagai pembukaan guru dapat bertanya kepada siswa tetang kabar
mereka, keluarga, hewan peliharaan/hal pribadi dalam hidup mereka dan apakah
siswa sudah siap untuk belajar.Dalam pembukaan pembelajaran guru memberikan
motivasi, untuk memberikan stimulus guru dapat memberikan makanan kecil pada
siswa apabila siswa dapat menjawab pertanyaan (respon).Hal ini untuk
membangkitkan semangat siswa untuk menjawab pertanyaan. Dengan demikian bila
stimulus ini terjadi terue- menerus akan menjadikan siswa menjadi aktif dalam
pembelajaran. Dalam pembelajaran guru hendaknya menjadikan lingkungan belajar
yang nyaman dan hangat, sehingga kelas menjadi satu kesatuan (saling
berhubungan) dengan emosi positf (adanya hubungan persahabatan/kekerabatan)
Guru berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada prioritas tinggi di
kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa untuk berpendapat,
bertanya dan menjawab pertanyaan. Pada pembelajaran dalam tanya jawab, guru
berusaha membuat siswa berada dalam situasi yang nyaman dengan memberikan hasil
(positf outcome – masukan positif). Misalnya, jika siswa diam/tidak aktif, maka
guru bisa memulai dengan pertanyaan ”apa pendapatmu tentang masalah ini”, atau
bagaimana kamu membandingkan dua contoh ini”. Dengan kata lain, guru memberi
pertanyaan yang dapat memancing siswa untuk berpendapat. Namun jika dengan cara
inipun siswa tidak sanggup/ segan untuk merespon, maka tugas guru untuk
membimbing/ memacu sampai siswa memberi jawaban yang dapat diterima.
b) Aplikasi Teori Thorndike i. Sebelum guru dalam
kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu.
Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya. ii. Guru
mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem
drill. iii. Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila
perlu hukuman sehingga memberikan motivasi proses belajar mengajar.
c) . Aplikasi Teori Skinner Guru
mengembalikan dan mendiskusikan pekerjaan siswa yang telah diperiksa dan
dinilai sesegera mungkin.
a. Bahan yang dipelajari dianalisis sampai
pada unit-unit secara organis. b. Hasil berlajar harus segera diberitahukan
kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat. c. Proses belajar
harus mengikuti irama dari yang belajar.
d. Materi pelajaran digunakan sistem
modul.
e. Tes lebih ditekankan untuk
kepentingan diagnostic.
f. Dalam proses pembelajaran lebih
dipentingkan aktivitas sendiri.
g. Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan
hukuman.
h. Dalam pendidikan mengutamakan
mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum.
i. Tingkah laku yang diinginkan
pendidik diberi hadiah.
j. Hadiah diberikan kadang-kadang
(jika perlu)
k. Tingkah laku yang diinginkan,
dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan.
l. Dalam pembelajaran sebaiknya
digunakan shaping.
m. Mementingkan kebutuhan yang akan
menimbulkan tingkah laku operan.
n. Dalam belajar mengajar
menggunakan teaching machine.
o. Melaksanakan mastery learning
yaitu mempelajari bahan secara tuntas menurut waktunya masing-masing karena
tiap anak berbeda-beda iramanya. Sehingga naik atau tamat sekolah dalam waktu
yang berbeda-beda. Tugas guru berat, administrasi kompleks. C. Penerapan Teori
Behavioristik Dalam Pendidikan Agama Islam (PAI) a. Aplikasi Teori Thorndike
dalam PAI Jadi, teori koneksionisme cocok bila diterapkan dalam PAI. Sebab
dalam koneksionisme, belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara
stimulus dan respon. Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling
menentukan adalah adanya stimulus yang bisa membangkitkan dan membentuk minat
siswa untuk mau belajar PAI, dimana asa puas yang ditimbulakan akan mendorong
pembelajaran. Selain stimulus-respon, teori ini juga sering disebut dengan
“trial and error” yang berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam
belajar PAI siswa diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga
siswa menemukan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran
PAI siswa diberi beberapa pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat
menjawabnya tapi dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi
kesempatan untuk berani menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut
salah dalam menjawab dan akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab
pertanyan tersebut dengan sempurna. b. Aplikasi Teori Pavlov dalam PAI Jadi
teori classical conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI,
sebab belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan
perkataan lain, ulangan –ulangan dalam hal belajar adalah penting. Sebagai
contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat
seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan mendengarkan
bel masuk kelas (CS) bersama-sam dengan datangnya guru ke kelas (UCS). Setelah
kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi
berbunyi tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa
tersebut tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel.
Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah berkali-kali
dihadirkan bersama. Selain itu, Jika guru berharap siswa dapat menghapalkan
materi berupa ayat pada surat Al Waqi`ah (di mana siswa harus hapal semua
ayat), dan ternyata siswa ini dapat menghapalkannya. Kemudian dalam kondisi
seperti ini anak tidak mendapatkan nilai akhir (raport) yang lebih baik
(dibanding dengan kawan yang lain), maka jika kelak suatu ketika ia diminta
untuk menghapalkan lagi dia tak akan berusaha menghapalkannya (karena ia tahu
hapal pun besok tidak akan mendapat nilai yang baik). Dalam segmen bagian akhir
dari contoh di atas, anak diminta menghapalkan suatu ayat dan kepadanya
disediakan pula sejumlah hadiah (misalnya gratis SPP) setiap saat, maka anak
itu dengan sendirinya akan terus berusaha untuk dapat menghapalkan ayat
dimaksud (karena ia tahu hal ini akan membawa hasil, yaitu mendapatkan hadiah).
c. Aplikasi Teori Skinner dalam PAI Dalam penerapanya teori operant
conditioniang juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” atau
“reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses belajar,
artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor
lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran
positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika
diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat. Dalam situasi belajar
PAI, hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu
singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman
menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward
menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang
tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan kelas
oleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan
dipuji oleh gurunya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
Dari pemaparan teori belajar behaviouristik
dapat disimpulkan bahwa:
1. Menurut Thorndike belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang
disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai
proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar
harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen dengan
sebuah puzzlebox.
2. Ivan Petrovich Pavlov
mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat
dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak
menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
3. Skinner menganggap reward dan
reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa
tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru
memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin.
4. Aplikasi teori belajar
behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan
pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia
DAFTAR PUSTAKA
Wuryani Djiwandono, Sri Esti. 2002. Psikologi Pendidikan.
Jakarta: PT Grasindo Sumadi,
Suryabrata, 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rajawali
Pers
Djaali, 2007. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar